Mengungkap jiwa liris dalam puisi Lirih Amir Hamzah

Sepintas kita diajak berkelana ke dalam suasana di Langkat, sebuah daerah di wilayah Sumatra Timur—atau Binjai, Sumatra Utara, kini.

Teater bertajuk “Nyanyi Sunyi Revolusi” dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (2/1) ./Robertus Rony Setiawan

Seorang anak lelaki berlatih silat ditemani gurunya. Dalam iringan bunyi saluang, satu-dua gerakan kuda-kuda mereka latihkan bersama-sama.

Ijang Widjaja, guru silat itu, memberi wejangan yang menyemangati si bocah yang kelak dikenal sebagai Amir Hamzah, “Menjadi pesilat bukan untuk membunuh. Justru untuk menahan hawa nafsu dan kebencian.” Si bocah tak mengerti sebab di pikirannya, tentu bersilat membawa pesan kemarahan dan kebencian pada lawan.

Adegan pembuka pertunjukan teater bertajuk “Nyanyi Sunyi Revolusi” yang dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (2/1) itu menggamit perhatian penonton sejak awal.

Sepintas kita diajak berkelana ke dalam suasana di Langkat, sebuah daerah di wilayah Sumatra Timur—atau Binjai, Sumatra Utara, kini. Dengan mengangkat kisah hidup dan karya puisi-puisi penyair Amir Hamzah—yang digelari Raja Pujangga Baru oleh HB Jassin—pertunjukan ini cukup membuat keingintahuan publik bergejolak. Bahkan mungkin pula akan merasa asing dengan lakon itu.

Iswadi Pratama didaulat menyutradarai pertunjukan yang diproduksi oleh Titimangsa Foundation ini. Iswadi menjelaskan, dibandingkan Chairil Anwar dan penyair-penyair Indonesia lainnya, Amir Hamzah adalah penyair yang kurang dikenal masyarakat.