Lady Bird, sebuah ode untuk rumah dan kenangan

Disutradari dan diperankan perempuan, 'Lady Bird' tak lantas jadi produk feminis. Ia adalah romantisme yang dinyanyikan remaja di zamannya.

Salah satu potongan scene dalam 'Lady Bird'/ IMDB

Setiap orang pernah merasakan canggungnya jatuh cinta pertama kali, pergumulan jati diri, dan pertengkaran kecil dengan orang tua. Siapa nyana, jika semua konstelasi itu begitu apik dipotret Greta Gerwig dalam film debut perdananya, ‘Lady Bird’ (2017). Alih-alih terjebak dalam narcisme, aktris langganan sutradara Noah Baumbach ini justru membingkai karakter umum remaja rebel, tapi sarat dengan kritik pada kelas ekonomi di Sacramento, AS.

Film ini berbeda dengan tontonan bergenre serupa ihwal ‘coming of age’ remaja dengan segala dinamikanya. Penonton tak akan menyaksikan adegan laiknya film ‘Mean Girls’ (2004) atau ‘Mamma Mia!’ (2008) yang sekadar bercerita proses pencarian atensi dan jati diri perempuan belasan tahun. Namun ia adalah narasi yang bernas tentang relasi anak dan ibu, anak dan teman, anak dan kekasih, di mana semua remaja barangkali pernah merasainya.

Diceritakan dengan jujur, ringan, dan dibalut dialog jernih seperti improvisasi, ‘Lady Bird’ jauh dari adegan mengharu biru, depresi berlebihan, atau dramatisasi yang memuakkan. Tak heran jika film yang rilis pada November 2017 ini panen pujian dari banyak kritikus. Ia mengalahkan film ‘Get Out’ dan’ I, Tonya’ dalam perebutan piala film terbaik di ajang Golden Globe 2018. Selain itu, film yang naskahnya digarap langsung oleh Greta ‘Si Ratu Indie’ ini mengantongi lima nominasi Oscar. Ia dirayakan sebagai 10 Film Terbaik 2017 oleh National Board of Review, American Film Institute, dan majalah Time. Bahkan situs agregator kritik terkenal, Rotten Tomatoes memberinya skor positif 99%, dari total 282 kritik yang mampir.

Semua penghargaan itu tak berlebihan, mengingat para pemain tampil sesuai porsinya tanpa menegasi satu sama lain. Gaya sinematografi yang unik di mana kamera berjalan singkat seiring langkah pemainnya juga cukup menyegarkan mata. Film berdurasi 93 menit ini juga tak berambisi menampilkan batasan tegas antara yang baik dan buruk dan penghakiman lainnya. Kendati ia rawan ke arah tersebut, karena latar utamanya adalah SMA Katholik yang lengket dengan stigma konservatisme dan religiusitas berlebihan. Ia hadir begitu saja dan menyeret pemirsanya untuk larut dalam nostalgia masing-masing.

‘Lady Bird’ menceritakan hidup Christine McPherson (Saoirse Ronan), remaja kelas tiga SMA Katholik di Sacramento, California. Impiannya berkuliah di New York terbentur kendala finansial keluarga. Ayahnya dirumahkan perusahaan tempatnya bekerja, sehingga Marion, sang ibu (Laurie Metcalf) harus ambil dua shift demi menanggung biaya rumah tangga. Kakaknya yang berpenampilan punk, lulusan kampus Berkeley namun memilih bekerja sebagai kasir supermarket bersama kekasihnya. Latar ekonomi yang biasa saja jadi tonggak penciptaan karakter memberontak tokoh utama, Christine atau Lady Bird. Ia sendiri lebih senang dipanggil Lady Bird, alih-alih nama pemberian orang tuanya untuk mengukuhkan pemberontakannya.