Sejarah dan pentingnya kadaver bagi ilmu pengetahuan

Pembedahan jenazah menawarkan wawasan tentang anatomi manusia, memberikan informasi tentang bagaimana penyakit memengaruhi tubuh kita.

Ilustrasi jenazah. Alinea.id/Firgie Saputra

Belum lama ini, sebuah video viral memperlihatkan boks berwarna biru, yang di dalamnya diduga terdapat dua mayat di lantai sembilan salah satu gedung di sebuah universitas swasta di Medan, Sumatera Utara. Setelah dilakukan penyelidikan, polisi menemukan lima mayat di lantai 15. Usai ramai, pihak kampus mengklarifikasi bahwa lima mayat itu merupakan kadaver.

Kadaver merupakan jenazah yang digunakan mahasiswa kedokteran untuk praktikum anatomi. Penggunaan jenazah dalam dunia kedokteran itu memiliki sejarah yang panjang.

Dalam situs Research for Life, menyebut penggunaan mayat untuk pendidikan tentang tubuh manusia dikembangkan pada abad ke-3, dengan berdirinya sekolah kedokteran Yunani di Alexandria. Awal abad ke-3, Herophilus dari Chalcedon dan Erasistratus dari Ceos merupakan dokter pertama yang mengabaikan tabu moral dan agama, yang melarang dokter melakukan pembedahan manusia untuk tujuan anatomi.

Namun, setelah kematian mereka, pembedahan manusia berhenti sama sekali. Diduga, hal ini terjadi karena sebuah sekolah kedokteran baru menolak gagasan penggunaan mayat, dengan menyatakan hal itu tak punya manfaat ilmiah dan hasil klinis dapat diperoleh lewat observasi yang tak dilakukan secara langsung.

“Pembedahan manusia yang sistematis benar-benar ditinggalkan ketika para dokter beralih ke analisis klinis dari masa lalu dan dengan pembakaran Alexandria pada 389,” tulis Research for Life.