sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sejarah dan pentingnya kadaver bagi ilmu pengetahuan

Pembedahan jenazah menawarkan wawasan tentang anatomi manusia, memberikan informasi tentang bagaimana penyakit memengaruhi tubuh kita.

Fandy Hutari Maulida Alfi Syahrani
Fandy Hutari | Maulida Alfi Syahrani Jumat, 15 Des 2023 16:23 WIB
Sejarah dan pentingnya kadaver bagi ilmu pengetahuan

Belum lama ini, sebuah video viral memperlihatkan boks berwarna biru, yang di dalamnya diduga terdapat dua mayat di lantai sembilan salah satu gedung di sebuah universitas swasta di Medan, Sumatera Utara. Setelah dilakukan penyelidikan, polisi menemukan lima mayat di lantai 15. Usai ramai, pihak kampus mengklarifikasi bahwa lima mayat itu merupakan kadaver.

Kadaver merupakan jenazah yang digunakan mahasiswa kedokteran untuk praktikum anatomi. Penggunaan jenazah dalam dunia kedokteran itu memiliki sejarah yang panjang.

Dalam situs Research for Life, menyebut penggunaan mayat untuk pendidikan tentang tubuh manusia dikembangkan pada abad ke-3, dengan berdirinya sekolah kedokteran Yunani di Alexandria. Awal abad ke-3, Herophilus dari Chalcedon dan Erasistratus dari Ceos merupakan dokter pertama yang mengabaikan tabu moral dan agama, yang melarang dokter melakukan pembedahan manusia untuk tujuan anatomi.

Namun, setelah kematian mereka, pembedahan manusia berhenti sama sekali. Diduga, hal ini terjadi karena sebuah sekolah kedokteran baru menolak gagasan penggunaan mayat, dengan menyatakan hal itu tak punya manfaat ilmiah dan hasil klinis dapat diperoleh lewat observasi yang tak dilakukan secara langsung.

“Pembedahan manusia yang sistematis benar-benar ditinggalkan ketika para dokter beralih ke analisis klinis dari masa lalu dan dengan pembakaran Alexandria pada 389,” tulis Research for Life.

“Pembedahan manusia dianggap menghujat dan dilarang sejak saat itu selama hampir 1.700 tahun.”

Pada 1315 pembedahan mayat dilakukan kembali di Universitas Bologna, Italia. Sementara menurut Caitlin Varner, Lucinda Dixon, dan Micha C. Simons dari Lincoln Memorial University College of Veterinary Medicine dalam risetnya di Frontiers in Veterinary Science (November, 2021), pada 1542, ahli anotomi Andreas Vesalius membedah mayat untuk membandingkan pengetahuan anatomi yang dirasakan dengan tubuh sesungguhnya. Tujuannya, untuk mengoreksi kesalahan informasi dan memperluas pemahaman tentang bentuk manusia.

“Penggunaannya atas proksi ini mengarah pada penciptaan pendekatan metode ilmiah yang lebih berpusat pada pasien,” tulis para peneliti.

Sponsored

Di Amerika Serikat, tahun 1832, terbit Undang-Undang Anatomi yang mengamanatkan mayat tanpa identitas akan memainkan peran sentral dalam pembedahan anatomi. Namun, aturan ini berulang kali dimanipulasi atau diabaikan.

“Hal ini disebabkan muncul tindakan tidak etis untuk membawa jenazah dari kuburan ke meja pembedahan,” tulis Research for Life.

“Contohnya, perampasan besar-besaran jenazah orang miskin, narapidana, budak, atau orang yang sakit jiwa.”

Baru pada 1968, disahkan undang-undang Uniform Anatomical Gift, untuk melindungi kepentingan donor jenazah. Menurut Varner dkk, penggunaan mayat terbukti menjadi langkah maju yang penting bagi komunitas medis dan terus meluas hingga 1980-an, saat reformasi sekolah kedokteran dimulai.

Menurut para peneliti dari University of the Witwatersrand, Brendon Kurt Billings dan Beverley Kramer dalam tulisan mereka di the Conversation, program-program donasi jenazah menganut keyakinan agama dan budaya masyarakat di mana mereka berada. Dan, secara khusus dirancang untuk mendorong persetujuan berdasarkan informasi.

“Artinya, pendonor harus mempunyai pengetahuan penuh tentang bagaimana jenazahnya akan digunakan untuk pengajaran dan penelitian,” tulis Billings dan Kramer.

Di Indonesia, penggunaan kadaver untuk keperluan praktikum anatomi dan ilmu pengetahuan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia, serta Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh.

“Studi tentang anatomi telah menjadi landasan bagi pelatihan mahasiswa dalam ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan terkait, seperti kedokteran gigi, fisioterapi, terapi okupasi, farmasi, dan keperawatan selama ratusan tahun,” tulis Billings dan Kramer di the Conversation.

“Pengajaran berbasis kadaver mempersiapkan mahasiswa secara intelektual dan emosional untuk menghadapi tantangan yang akan mereka hadapi dalam karier ilmu kesehatan mereka.”

Selain itu, Billings dan Kramer pun menyebut, pembedahan mayat memandu mahasiswa dalam memahami hubungan tiga dimensi yang rumit dari struktur yang melapisi kulit. Hal itu penting bagi seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan klinis terhadap pasiennya, serta bagi dokter gigi untuk mengetahui letak penyuntikan atau membuat sayatan bedah selama prosedur operasi di mulut seseorang.

“Pembedahan juga memungkinkan mahasiswa untuk memahami perbedaan antara normal dan abnormal, seperti kelainan atau patologi bawaan,” tulis Billings dan Kramer.

Pembedahan mayat juga sangat penting bagi calon ahli bedah untuk menghadapi segala kemungkinan selama pembedahan. “Demikian pula, pengetahuan yang diperoleh dari pembedahan tubuh membantu ahli radiologi dalam menafsirkan bentuk dan bayangan struktur yang mereka perhatikan untuk pemindaian dan gambar yang mereka teliti, sehingga bisa mendiagnosis,” kata Billings dan Kramer.

“Ini juga memberikan pelatihan moral dan etika, serta pendekatan humanistik terhadap perawatan pasien.”

Ditambahkan Research for Life, pembedahan jenazah menawarkan wawasan tentang anatomi manusia, memberikan informasi tentang bagaimana penyakit memengaruhi tubuh kita, dan memungkinkan ahli bedan serta dokter untuk berlatih dan menyempurnakan teknik.

“(Pembedahan mayat) juga memungkinkan para peneliti untuk mengembangkan perangkat medis dan bahkan membantu lebih jauh penelitian kanker atau Alzheimer,” tulis Research for Life.

Berita Lainnya
×
tekid