Sejarawan: Orba gunakan narasi PKI untuk kepentingan politis

Peristiwa 1965 bukan sekadar peralihan kekuasaan di tingkat pemerintah pusat, tetapi juga perebutan kekuasaan di berbagai lapisan masyarakat

TAP MPR yang isinya melarang komunisme tidak masuk dalam konsideran RUU Haluan Ideologi Pancasila. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan

Peneliti Sejarah 1965 Grace Leksana mengungkapkan, narasi rezim orde baru terkait kekerasan 1965 perlu diawetkan sebagai memori kolektif masyarakat, karena serangkaian peristiwa setelahnya. Selain itu, ketika mengulik sejarah suatu daerah tertentu terkait peristiwa 1965, terkadang juga merujuk pada masa lalunya.

Dalam disertasinya yang berjudul Embedded Remembering; Memory Culture of 1965 Violence in East Java’s Agrarian Society, pada saat itu masyarakat pedesaan di Kabupaten Malang Selatan, Jawa Timur, melestarikan narasi PKI rezim orde baru karena kepentingan politis.

Akibatnya, peristiwa 1965 bukan sekadar peralihan kekuasaan di tingkat pemerintah pusat, tetapi juga perebutan kekuasaan di berbagai lapisan masyarakat. “Ingatan (terkait peristiwa 1965) yang muncul sangat terkait dengan apa yang terjadi di desa itu. Bagaimana orang yang bisa dikatakan pelaku, orang-orang yang turut berperan membantu dalam operasi pembersihan PKI. Entah itu sebagai tim skrining atau membantu menggeruduk rumah-rumah penduduk desa. Itulah sebabnya penting sekali bagi mereka untuk mempertahankan narasi orde baru, karena berkaitan dengan posisi (jabatan) mereka dapatkan setelah kekerasan itu terjadi,” ujar Grace dalam diskusi virtual, Selasa (29/9).

Doktor Sejarah Alumnus Universiteit Leiden Belanda ini, mengungkapkan, para pelaku yang berperan dalam operasi pembersihan PKI banyak yang mendapatkan jabatan baru. Misalnya, sebagai sekretaris desa atau pamong desa-yang sebelumnya dijabat orang-orang yang dituding PKI. Sehingga, mereka memiliki kepentingan mempertahankan narasi PKI yang juga dilakukan rezim orde baru.

Sedangkan orang-orang kehilangan tanah hingga terstigma PKI setelah peristiwa 1965 menganggapnya sebagai ingatan yang tidak benar. “Narasi-narasi itu tidak benar dan (mereka) tidak setuju dengan narasi yang dikatakan negara,” tutur Grace.