Stigma jadi faktor utama penghambat eliminasi kusta di Indonesia

Penyakit kusta ditandai dengan rasa lemah atau mati rasa di tungkai kaki. Penyakit ini tersebar lewat percikan ludah atau dahak.

Illustration by Gooddoctor.co.id

Kusta atau lepra merupakan penyakit infeksi bakteri kronis yang menyerang jaringan kulit, saraf tepi, serta saluran pernapasan. Sayangnya, eliminasi kusta di Indonesia masih menemui banyak kendala.

Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin (Perdoski) Sri Linuwih Menaldi, menyatakan salah satu kendala paling besar dalam eliminasi kusta adalah stigma diri dan stigma sosial. Pasien dan keluarganya takut ketika diketahui sakit yang berakibat pada keengganan berobat, pengucilan diri, dan penularan yang masih berlangsung.

“Selain itu ada kendala letak geografis dan fasilitas pelayanan kesehatan,” uja Sri dalam Media Briefing Hari Kusta Sedunia, Senin (31/12). Saat ini enam provinsi di Indonesia belum mencapai bebas kusta yakni Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Kendati demikian, upaya preventif terus dilakukan dengan penguatan kesehatan masyarakat dan edukasi.

Penyakit kusta ditandai dengan rasa lemah atau mati rasa di tungkai kaki. Penyakit ini tersebar lewat percikan ludah atau dahak yang keluar saat batuk atau bersin. Seseorang dapat tertular kusta jika mengalami kontak dengan penderita dalam waktu lama. Namun, tidak akan tertular hanya dengan bersalaman atau duduk bersama. Kusta juga mungkin ditularkan oleh ibu ke janin di dalam kandungan.

Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia, Tirza Z. Tamin, mengatakan penyakit kusta merupakan penyakit dengan masalah yang sangat kompleks. Organisasi Kesehatan Dunia WHO mengeluarkan Global Leprosy Strategy 2021-2030 dengan target nol kasus lepra, kecacatan, stigma, dan diskriminasi. “Target global pada 2030 adalah 120 negara telah mencapai nol kasus lepra,” ujar Tirza.