Wajah toleransi di balik ‘war takjil’

Istilah war takjil belakangan populer di media sosial, sebagai sebutan berburu takjil yang dilakukan tak hanya antarumat Islam.

Pedagang kolak di bilangan Mangga Besar, Jakarta Barat, Selasa (26/3/20204). Alinea.id/Fery Darmawan

Sejak sekitar pukul 14.00 WIB, pedagang makanan atau minuman untuk berbuka puasa alias takjil di sekitar Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat, sudah mulai membuka lapaknya. Para pembeli pun mulai berburu takjil. Sebuah lapak yang berdagang kolak tampak sangat ramai. Bahkan, antrean tak terhindarkan. Semakin sore, mendekati waktu berbuka puasa, lapak itu semakin ramai.

Salah seorang pembeli berasal dari kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Ratna, mengaku sudah antre sejak sekitar pukul 15.00 WIB. Ia baru mendapatkan takjil kolak pada pukul 16.30 WIB.

“Kebetulan saya di sini ingin mencoba kolaknya ya. Satu kolak harganya Rp18.000,” ucap Ratna kepada Alinea, Selasa (26/3).

Ratna tak masalah jika ada warga non-Muslim yang ikut berburu takjil. “Enggak apa-apa kok. Kita hargain agama mereka. Lagi pula enggak ngerugiin kita juga kok,” ujar Ratna.

Asep, seorang tukang ojek yang kebetulan lewat lapak takjil tersebut setelah mengantar penumpang, sebentar berhenti. Tadinya, ia berniat ingin membeli kolak. Namun, diurungkan karena melihat sore itu lapak tersebut sudah sangat ramai pembeli.