Debt collector dalam pusaran kekerasan

Debt collector kerap jadi pelaku kekerasan dan tak jarang pula jadi korban.

Debt collector kerap menggunakan kekerasan dalam menjalankan tugas dari perusahaan. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan

Profesi sebagai jasa penagih atau debt collector kerap menimbulkan kontroversi. Termuktahir, sekelompok DC terlibat aksi saling lempar batu dengan komunitas pengemudi ojek online di Sleman, Yogyakarta, Kamis (5/3) lalu. Bentrok dipicu penganiayaan yang dilakukan oknum DC saat menarik motor seorang pengemudi ojol, dua hari sebelumnya. 

Itu bukan kali pertama oknum DC menganiaya debitur atau nasabah. Salah satu kasus yang paling fenomenal ialah penganiayaan terhadap Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) Irzen Okta pada 2011. Ketika itu, Okta yang mempertanyakan naiknya tunggakan kartu kredit malah dianiaya dan tewas karena pecah pembuluh darah di otak. 

Pada deretan kasus lainnya, DC yang justru menjadi korban. Pada Oktober 2019 misalnya, penagih utang dari sebuah koperasi simpan pinjam di Kabupaten Bandung Barat tewas dibunuh debitur yang menolak membayar utangnya. 
 
Jasa penagih utang sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. 

Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa tata cara penarikan jaminan fidusia  kendaraan motor atau mobil harus memenuhi beberapa unsur. Debt collector, misalnya, diwajibkan bersertifikat dan mampu menunjukkan dokumen resmi saat bertugas. 

Pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan gesekan antara DC dan debitur kerap terjadi karena debitur kerap tidak memahami aturan-aturan yang termaktub dalam kesepakatan awal saat menandatangani akad kredit.