Mengapa orang menimbun buku?

Istilah tsundoku tercipta saat era Meiji di Jepang pada abad ke-19. Buku, termasuk menumpuknya, dianggap sebagai ukuran intelektual.

Pengunjung memadati pameran buku Big Bad Wolf di Tangerang Selatan. /facebook.com/bbwbooksindonesia

Menurut Ephrat Livni dalam tulisannya “There’s a word in Japanese for the literary affliction of buying books you don’t read” di Quartz edisi 8 Oktober 2016 menulis, tsundoku adalah penimbunan buku yang tak pernah dibaca.

Livni mengutip pendapat Sahoko Ichikawa, seorang dosen senior Bahasa Jepang di Cornell University bahwa istilah tsundoku berasal dari era Meiji di Jepang pada abad ke-19. Istilah ini berasal dari tsunde artinya “menumpuk sesuatu” dan oku artinya “pergi sebentar”.

Kemudian, kata oku berubah menjadi doku, yang artinya “membaca.” Namun, karena tsunde doku sangat canggung di lidah, akhirnya frasa ini berubah menjadi tsundoku.

Menurut deputi editor bisnis dan budaya di The Huffington Post, Katherine Brooks, dalam tulisannya “There’s a Japanese word for people who buy more books than they can actually read” di Huffpost.com edisi 23 April 2017, tsundoku tidak memiliki sinonim langsung dalam Bahasa Inggris.

Ia menulis, kamus Oxford mendefinisikan kata ini sebagai tindakan meninggalkan buku yang belum dibaca setelah membelinya, biasanya menumpuknya bersama-sama dengan buku-buku yang belum dibaca lainnya.