Populisme medis era Covid-19

Populisme medis mewarnai penanganan pandemi Covid-19 di sejumlah negara.

Ilustrasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Alinea.id/Bagus Priyo

Populisme medis mewarnai penanganan pandemi Covid-19 di sejumlah negara. Dalam "Medical populism and the COVID-19 pandemic" yang terbit pada 11 Agustus 2020 di Jurnal Global Public Health, antropolog Gideon Lasco mengatakan populisme medis setidaknya dijalankan Presiden Jair Bolsonaro di Brasil, Rodrigo Duterte di Filipina, dan Donald Trump di AS. 

Dalam paper itu, Lasco mengklasifikasi empat karakteristik populisme medis yang berkembang pada era Covid-19. Pertama, simplifikasi pandemi. Kedua, dramatisasi krisis. Ketiga, memecah belah publik. Terakhir, penyebarluasan klaim-klaim yang seolah ilmiah.

Simplifikasi pandemi, misalnya, ditunjukkan Bolsonaro dan Trump dengan meremehkan virus Sars-Cov-2. Pada awal pandemi, keduanya tak pernah memakai masker saat berada di ruang-ruang publik. Trump dan Bolsonaro juga terekam menjadi promotor sejumlah obat-obatan yang sama sekali tak terbukti bisa menyembuhkan Covid-19. 

Di Filipina, Duterte mengambil gaya dramatisasi krisis. Sempat ikut-ikutan meremehkan virus Sars-Cov-2, Duterte mengambil kebijakan lockdown di bawah pengawasan militer menghadapi pandemi sejak kasus positif Covid-19 terus naik di Filipina pada awal Maret 2020.  

Di Indonesia, peneliti kesehatan dari Universitas Indonesia (UI) Ahmad Fuady menyebut gembar-gembor ivermectin menunjukkan bahwa pemerintah Jokowi juga menggunakan populisme medis dalam penanganan pandemi. Dalam hal ini, pemerintah Jokowi terkesan menyederhanakan pandemi yang kompleks lewat promosi obat-obatan yang tak jelas bukti ilmiahnya.