Belenggu ekonomi dualistik

Meskipun sudah 75 tahun Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan, sistem perekonomian negeri ini tetap bersifat dualistik.

Khudori

Memasuki tahun kedua di periode kedua mengomandani negeri, saat inilah Presiden Jokowi menghadapi tantangan yang tidak mudah. Pandemi Covid-19 memukul kesehatan dan ekonomi sekaligus. Hingga memasuki bulan keenam sejak pagebluk diumumkan, formula menginjak “rem” dan “gas” dalam mengendalikan transmisi virus belum ada tanda-tanda menemukan titik ideal.

Indikasinya, serapan anggaran pemulihan masih jauh dari memadai. Yang muncul justru tanda-tanda krisis: PHK 6,4 juta, ekonomi -5,32%, orang miskin naik 1,63 juta, dan gini ratio naik 0,380 jadi 0,381 dari September 2019 ke Maret 2020. Ini potret hingga triwulan II-2020. Pandemi diyakini kian memperburuk ketimpangan dan kemiskinan.

Sebelum pandemi, ketimpangan telah menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Ketimpangan terjadi karena kue pertumbuhan tidak terbagi merata (buat semua pelaku ekonomi). Selama puluhan tahun pertumbuhan ekonomi lebih ditopang oleh sektor modern (non-tradable), seperti sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/hotel/restoran.

Pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02%, misalnya, ditopang sektor non-tradable itu, seperti sektor komunikasi (tumbuh 9,41%). Sektor-sektor ini tumbuh di atas rerata nasional. Sebaliknya sektor riil (tradable) seperti sektor pertambangan (1,22%), pertanian (3,64%), dan industri (3,8%) tumbuh rendah, selalu di bawah rerata nasional.

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable ini, memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor nontradable jauh lebih kecil dari sektor tradable.