sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Khudori

Belenggu ekonomi dualistik

Khudori Kamis, 27 Agst 2020 15:33 WIB

Memasuki tahun kedua di periode kedua mengomandani negeri, saat inilah Presiden Jokowi menghadapi tantangan yang tidak mudah. Pandemi Covid-19 memukul kesehatan dan ekonomi sekaligus. Hingga memasuki bulan keenam sejak pagebluk diumumkan, formula menginjak “rem” dan “gas” dalam mengendalikan transmisi virus belum ada tanda-tanda menemukan titik ideal.

Indikasinya, serapan anggaran pemulihan masih jauh dari memadai. Yang muncul justru tanda-tanda krisis: PHK 6,4 juta, ekonomi -5,32%, orang miskin naik 1,63 juta, dan gini ratio naik 0,380 jadi 0,381 dari September 2019 ke Maret 2020. Ini potret hingga triwulan II-2020. Pandemi diyakini kian memperburuk ketimpangan dan kemiskinan.

Sebelum pandemi, ketimpangan telah menjadi pekerjaan rumah yang jauh dari selesai. Ketimpangan terjadi karena kue pertumbuhan tidak terbagi merata (buat semua pelaku ekonomi). Selama puluhan tahun pertumbuhan ekonomi lebih ditopang oleh sektor modern (non-tradable), seperti sektor keuangan, jasa, realestat, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/hotel/restoran.

Pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02%, misalnya, ditopang sektor non-tradable itu, seperti sektor komunikasi (tumbuh 9,41%). Sektor-sektor ini tumbuh di atas rerata nasional. Sebaliknya sektor riil (tradable) seperti sektor pertambangan (1,22%), pertanian (3,64%), dan industri (3,8%) tumbuh rendah, selalu di bawah rerata nasional.

Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable ini, memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi. Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya hanya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena karakteristiknya itu, penyerapan tenaga kerja sektor nontradable jauh lebih kecil dari sektor tradable.

Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah dibandingkan masa Orde Baru misalnya. Tetapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh tapi tidak (semua) sejahtera. Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2019 hanya 12,72%. Padahal sektor ini menampung 30,46% total tenaga kerja.

Akibatnya, pertanian kian involutif yang ditandai massifnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Ini yang kemudian memunculkan ketimpangan berikutnya: disparitas pendapatan antarpenduduk.

Kesenjangan kian melebar, yang ditandai oleh kenyataan: yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Ini terlihat dari meroketnya gini rasio: dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,381 pada 2019 (makin tinggi berarti makin timpang).

Sponsored

Data lebih rinci menunjukkan ketimpangan masih serius. Data Susenas 2019, jumlah penduduk miskin 9,4%; kelompok pendapatan rentan 20,6%; menuju kelas menengah 48,2%; kelas menengah 21,5%; dan pendapatan atas 0,4%. Jadi, sebetulnya kesejahteraan di Indonesia hanya dinikmati tak lebih 21,9% penduduk kaya. Kesenjangan yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid