Berebut jagung

Pemerintah harus mengintervensi agar peternak mandiri mendapatkan hasil stok yang baik dan distributif.

Don Gusti Rao

Pada Selasa (7/9), media marak mewartakan peternak ayam bernama Suroto dan itu menjadi perhatian publik. Ia akhirnya digelandang ke kantor polisi setempat karena membentangkan poster berisi aspirasi saat Presiden Jokowi melintas Jalan Moh Hatta Blitar, Jawa Timur. 

Ekspresi Suroto bukan tanpa sebab, kekecewaannya karena harga jagung naik berimbas pada dirinya dan peternak lain. Tercatat, saat protes Suroto terjadi, harga Jagung berkisar Rp.6.000-Rp7.000. Di sisi lain, harga telur terus merosot hingga menyentuh Rp13.000 di Blitar (detik.com 23/9/21). 

Fenomena naiknya jagung-dan juga fluktuasi hasil pertanian lainnya-memang hal klasik, ini apabila dilihat dari harga yang sebenarnya rendah di tingkat petani, kemudian naik saat dijual di pasar. Petani yang menanam tidak merasakan naiknya harga komoditas yang ditanam. Dalam konteks harga jagung tadi, peternak mengeluhkan mahalnya harga jagung untuk pakan ternak yang melebihi Harga Acuan Pembelian (HAP) yang ditetapkan pemerintah Rp4.500 per kilogram, padahal Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim stok jagung cukup, sedangkan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, kenaikan harga jagung disebabkan stok jagung langka sehingga pasokan terganggu (Kompas.com 23//9/2021). Saling bantah para pejabat pun menjadi pemanis fenomena ini.

Berebut stok
Bila kita mengafirmasi pernyataan Kementan, bahwa stok jagung cukup bahkan untuk pakan ternak, maka problem utamanya adalah distribusi yang tidak merata, sehingga terjadi disparitas harga yang cukup tinggi di beberapa daerah. Ketersediaan yang diklaim sustain dan stabil juga harus dioptimalkan dengan memastikan tidak ada pelanggaran di lapangan.

Apabila distribusi sudah dinyatakan cukup dan relevan dengan kebutuhan, langkah selanjutnya adalah memastikan struktur pasar yang terdiri dari industri pakan besar dan peternak mandiri. Fenomena Suroto pada awal September lalu, adalah bukti peternak mandiri mengalami kerugian pesat, padahal harga telur pada saat sama merosot sehingga banyak peternak mandiri yang menjual ayamnya dengan harapan kerugian dapat dikurangi. Sementara itu, tidak terdengar protes dari industri pakan besar, apakah itu tanda bahwasanya industri pakan besar memonopoli jalur distribusi dengan mengambil jatah yang besar dan tidak proporsional?