Darurat perokok anak, serbuan iklan rokok dan regulasi yang lemah

Ada tiga faktor eksternal yang menyebabkan jumlah perokok anak terus meningkat.

Lisda Sundari. Foto pribadi

Jumlah perokok anak di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas), jumlah perokok anak usia 10-18 tahun meningkat menjadi 9,1% atau sekitar 3,2 juta, dari sebelumnya 7,2% pada 2013.

Padahal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4% pada 2019. Hal ini menunjukkan pemerintah gagal mengendalikan konsumsi rokok, sementara industri rokok berhasil merekrut perokok baru, yaitu anak-anak, setiap tahunnya.

Ada tiga faktor eksternal yang menyebabkan jumlah perokok anak terus meningkat. Yakni, serbuan iklan, promosi dan sponsor rokok yang menyasar anak sebagai target dan membuat rokok terlihat normal, akses rokok yang mudah dan harga yang murah sehingga terjangkau anak, serta faktor pengaruh panutan dan kelompok sebaya. Lingkungan keluarga menjadi faktor pengaruh kedua terbesar 43,6% setelah iklan rokok dan rasa ingin tahu (Huda, 2018).

Berdasarkan laporan WHO (2013), iklan, promosi dan sponsor (IPS) rokok adalah bentuk terdepan yang dilakukan industri rokok untuk mempertahankan dan meningkatkan konsumen mereka dengan menormalisasikan produk rokok. Berbagai aktivitas promosi mereka lakukan menggunakan strategi subliminal advertising untuk menjadikan produk rokok terlihat sebagai produk normal dan mengaburkan bahaya rokok.

Subliminal adalah pesan atau stimulus yang diserap oleh persepsi dan alam otak bawah sadar, yang diterima melalui medium gambar yang diulang-ulang (Nina Muthmainah Armando dalam Lentera Anak, 2018). Jika seseorang terpapar suatu produk berulang-ulang tanpa disadari akan memengaruhi perilakunya mengonsumsi produk tersebut. Ini sama halnya dengan anak yang melihat iklan rokok dengan citra positif, akan tertanam di alam bawah sadarnya bahwa rokok produk yang normal dan baik.