Demokrasi lesehan

Pertanyaan paling menggigit adalah seberapa jauh kita paham dengan sosok demokrasi.

Demokrasi adalah barang kuno milik Yunani. Lalu dihangatkan oleh Amerika. Dan hari ini merupakan hidangan lezat yang kita santap dengan bersemangat. Motto paham ini adalah Vox Populi Vox Dei, suara rakyat suara Tuhan. 

Korban pertama demokrasi adalah Socrates. Orang arif itu mengajarkan kebenaran kepada muridnya sepenuhnya dengan akal atau rasio. Cara dia mengajar mirip dengan kaum Sofisme yang marak waktu itu. Yaitu dengan metode soal-jawab. Tapi bedanya dia tak pernah mengutip bayaran. Dan tak pernah memilih asal-muasal sang murid apakah anak bangsawan atau rakyat jelata.

Dengan ajarannya Socrates dituduh menghina agama. Dia dihadapkan ke pengadilan. Suara terbanyak memutuskan dia harus menenggak racun.

Celah-celah demokrasi yang berlaku ketika itu dibuka untuk Socrates. Dia dibenarkan menghadirkan isteri dan anak-anak. Lazim dilakukan, isteri dan anak-anak menangis tersedu-sedu di depan hakim untuk mendapatkan belas kasihan. Hal ini sah untuk menjadi bahan pertimbangan. Celah lain dia dianjurkan untuk minta keringanan hukuman.

Tetapi Socrates secara konsisten menolak semua peluang itu. Salah satu ajarannya adalah rakyat harus taat kepada undang-undang yang berlaku. Sekalipun undang-undang atau hukum itu berlawanan dengan rasa keadilan dan kebenaran. Itulah makanya, dia pun menolak ketika kepala penjara membukakan pintu kebebasan baginya. “Socrates ada di dalam kendi,” ujarnya. “Kendi dapat pecah. Tapi airnya tumpah menuju laut.”