Diversifikasi pangan yang salah kaprah

Tanpa disadari, kebijakan insidentil introduksi gandum sebagai substitusi (sementara) beras menciptakan aneka persoalan serius bagi kita.

Khudori

Penarikan mi instan merek Indomie oleh otoritas Taiwan, akhir April 2023, menyadarkan kita betapa produk berbasis tepung terigu itu begitu mengglobal. Lahir di Jepang, konsumsi mi instan kini menembus lebih 121 miliar bungkus per tahun. China menduduki posisi pertama dengan 45,07 miliar bungkus/tahun, disusul Indonesia (12,26 miliar bungkus/tahun) dan Vietnam (8,48 miliar bungkus/tahun) di posisi kedua dan tiga. Sepertinya tidak ada makanan lain di luar terigu yang demikian jawara seperti mi instan.

Terigu, yang diolah dari gandum, adalah makanan pokok warga dunia. Posisinya jauh lebih penting ketimbang kedelai, kentang, dan jagung. Posisi strategis gandum hanya kalah oleh beras, pangan pokok separuh warga dunia. Meskipun di Indonesia tidak ada petani gandum, dari waktu ke waktu konsumsi terigu terus naik. Pada 2002 impor biji gandum masih 4 juta ton, meledak menjadi 11,69 juta ton pada 2021 senilai Rp54 triliun. Impor naik hampir dua kali lipat dalam dua dasawarsa. Tak sedikit devisa melayang. 

Terigu sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk roti, aneka kue, jajanan, dan mi instan. Saat ini Indonesia jadi negara importir gandum ketiga terbesar di dunia setelah Mesir dan Turki. Konsumsi terigu warga saat ini mencapai 17,1 kg/kapita/tahun. Terigu menempati posisi kedua dalam menu diet warga, jauh meninggalkan aneka pangan lokal. Sejak diintroduksi pada 1970-an, hanya dalam 30 tahun tingkat konsumsi terigu naik 500%. Penetrasi ini tak lepas dari keberhasilan para pelaku usaha merekayasa aneka pangan asal terigu jadi pangan murah, mudah didapat, dan sesuai selera lidah Indonesia. 

Keberhasilan terigu yang mencengangkan tak lepas dari kebijakan era Orde Baru. Saat itu harga terigu dibanting 50% lebih rendah dari harga internasional. Semula, beleid ini dimaksudkan untuk menstabilkan harga pangan dan meredam inflasi. Pijakan dasarnya adalah untuk menghindari ketergantungan yang besar pada impor beras yang harganya tidak stabil, volumenya tipis (thin market), diekspor setelah kebutuhan dalam negeri terpenuh (residual market), dan pasarnya mendekati oligopoli (imperfect market). Sayang kebijakan insidentil itu tak pernah dievaluasi, bahkan berlanjut terus hingga kini. 

Ironisnya, masyarakat Barat kini mulai melihat terigu yang dikonsumsi dalam pelbagi jenis makanan itu sebagai ancaman kesehatan mereka. Ancaman gandum bukan hanya sebatas kesehatan jasmani, tetapi juga mengancam kesehatan mental (Bressan and Kramer, 2016). Ini bertolak belakang dengan yang terjadi di Indonesia: gandum dinilai sebagai pangan yang superior. Tanpa disadari, kebijakan insidentil introduksi gandum sebagai substitusi (sementara) beras menciptakan aneka persoalan serius bagi kita sendiri.