Dominasi peran popularitas dalam pilkada

Popularitas nama-nama tersebut dihasilkan dari berbagai isu yang menyoroti kinerja mereka selama 2019.

Nur Imroatus S

Setelah melalui banyak perdebatan dan pertentangan mengenai layak tidaknya pilkada dilakukan di saat pandemi Covid-19, akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pelaksanaan pilkada serentak dilakukan pada 9 Desember 2020. Keputusan ini ditetapkan pada 12 Juni 2020, melalui Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020. Adapun tahapan prapencoblosan akan mulai digelar pertengahan Juni. 

Menanggapi kekhawatiran mengenai potensi pilkada menularkan virus, KPU berencana membatasi jumlah massa yang boleh hadir dalam kampanye. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya akan mengupayakan agar kampanye tidak menimbulkan kerumunan massa, dengan mendesain pertemuan-pertemuan yang dilakukan dengan memanfaatkan media daring. 

Konsekuensinya, kandidat harus beradaptasi dengan mekanisme meningkatkan elektabilitas yang berbasis pemanfaatan media, atau yang banyak dikenal dengan istilah popularitas. Bahkan, kemungkinan besar peran popularitas memengaruhi elektabilitas akan mendominasi pilkada kali ini.

Kolom-kolom media online serta laman-laman media sosial nantinya akan banyak dibombardir dengan narasi-narasi kampanye kandidat. 

Pertanyaanya, seberapa besar pengaruh popularitas dalam mendulang elektabilitas? Bisa jadi sangat besar. Pada akhir 2019, Indobarometer merilis hasil survei yang menyebut nama-nama kepala daerah yang diprediksi sebagai kandidat Calon Presiden (Capres) 2024. Nama Anies Baswedan (Gubernur Jakarta) disebut sebagai kandidat terkuat. Disusul Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) dan Nurdin Abdullah (Gubernur Sulawesi Selatan).Salah satu faktor yang disebut-sebut sebagai pendukung elektabilitas mereka adalah popularitasnya di media.