Ekonomi-politik impor beras

Di Indonesia aktivitas impor seringkali menjadi pelik dan rumit.

Foto dokumen pribadi.

Impor merupakan kegiatan ekonomi biasa. Dia tidak berbeda dengan aktivitas ekspor. Dalam relasi perdagangan dunia tanpa batas, impor dan ekspor adalah aktivitas lumrah. Ekspor dilakukan untuk mendapatkan devisa. Sebaliknya, impor menjadi bagian dari upaya untuk memenuhi barang yang tidak bisa diproduksi sendiri. Impor, demikian juga ekspor, merupakan aktivitas yang netral. Tidak ada muatan negatif dan sejenisnya.

Akan tetapi, di Indonesia aktivitas impor seringkali menjadi pelik dan rumit. Itu terjadi terutama pada impor komoditas yang kental muatan politik seperti beras. Seperti umumnya di negara-negara Asia, di Indonesia beras merupakan komoditas pendorong utama inflasi. Inflasi yang tinggi membuat kesejahteraan warga, terutama yang miskin, bakal tergerus. Inflasi yang tinggi membuat jumlah kemiskinan bertambah. Inflasi juga menyebabkan naiknya suku bunga, naiknya suku bunga akan menghancurkan sektor riil.

Partisipasi konsumsi beras di Indonesia saat ini hampir sempurna: semua perut warga dari Sabang sampai Serui tergantung pada beras. Dari sisi gizi dan nutrisi, beras relatif unggul dari pangan lain. Seluruh bagian beras bisa dimakan, kandungan energinya 360 kalori per 100 gr, dan protein 6,8 gr per 100 gr. Pangsa beras pada konsumsi energi per kapita (intake) mencapai 54,3%, dan 40% sumber protein dipenuhi dari beras.

Dari sisi produsen, usahatani padi melibatkan 13,155 juta rumah tangga, tertinggi di antara komoditas penting lainnya. Belanja masyarakat, terutama warga miskin, mayoritas untuk beras: mencapai 24% dari total pengeluaran. Jika harga beras naik, warga miskin pasti membengkak. Makanya, di Indonesia –dan sebagian besar negara di Asia—berkepentingan dengan beras, tidak saja sebagai komoditi upah (wage goods), tapi juga komoditas politik (political goods). Pendek kata, beras merupakan komoditas strategis karena menjadi penopang tripel ketahanan: pangan, ekonomi dan nasional.

Dalam konteks seperti ini mudah dipahami apabila rencana mengimpor 1 juta ton beras saat ini memantik kontroversi. Pemerintah, seperti dijelaskan Menteri Perdagangan M Luthfi, tak ingin mengambil risiko lantaran stok beras di gudang Bulog tipis, kurang dari 1 juta ton. Meskipun panen raya dan ada potensi kenaikan produksi, penyerapan beras oleh Bulog saat ini terkendala kualitas gabah yang buruk. Luthfi bahkan yakin stok Bulog bisa dibawah 0,5 juta ton. Impor untuk memastikan pemerintah punya cadangan memadai guna mengintervensi pasar. Ia menjamin beras impor tak langsung masuk pasar.