Epifenomenologi keraton dan kegagapan negara

Peristiwa Keraton Agung Sejagad dan Kerajaan Sunda Empire, telah memberikan "sumbangsih" penggambaran atas epifenomenologi.

Lalu Pharmanegara

Pada tayangan ILC, 21 Januari 2020 di sebuah stasiun televisi, kita disuguhkan sebuah Tarian Nalar Indonesia. Sebuah perdebatan yang membuat kita ragu, apakah benar kita tidak memiliki rumusan akalbudi dan kecerdasan orisinal Indonesia. Namun di antara tarian nalar tersebut, kita masih bisa menikmati penyampaian Prof Salim Said, salah seorang narasumber yang merupakan Guru Besar Universitas Pertahanan Indoesia.  Di tengah "kegugupan" malam itu, beliau mensinyalir, peristiwa Keraton Agung Sejagad dan Sunda Empire, sebagai tafsir epifenomenologi.

Epifenomenologi diterjemahkan sebagai bagian filsafat budi yang menyatakan, realitas yang terjadi itu dihasilkan melalui proses fisikal yang berlangsung dalam sistem interpretasi. Keduanya berinteraksi secara bolak-balik, dan merupakan akibat multivarian yang bersifat tumpang tindih. Akibatnya, kesan atas fakta menjadikan dayabudi dan pola interpretasi tersebut terwujud dalam aspek fisik faktual yang dapat berhimpitan dengan ilusi dan halusinasi.

Secara lebih detail, Daniel Clement Dennet, dalam buku Consiousness Explained (1991), melihat epifenomenologi sebagai peristiwa yang dapat berdimensi metafisis sekaligus juga menciptakan kegamangan realitas atas dirinya sendiri.

Peristiwa Keraton Agung Sejagad dan Kerajaan Sunda Empire, telah memberikan "sumbangsih" penggambaran atas epifenomenologi tersebut.

Negara, kaum bangsawan dan khalayak umum, seolah mendapat pembelajaran baru tentang sebuah kejadian. Beberapa tahun yang lalu, Arifin C Noer, melalui karya drama Kapai-kapai (1970) juga menggambarkan kehidupan masyarakat miskin Indonesia seolah dalam adukan kenyataan, harapan dan ilusi itu. Setengah abad kemudian, pada 2020, Keraton Agung Sejagad dan Sunda Empire memberikan aksentuasi yang lebih dalam dan dramatis. Dan yang lebih mengemaskan lagi, mereka membawakan dengan penuh keyakinan, tidak bergeming, dan tak berkenan dibantah oleh para sejarawan akademik di Indonesia.