Beragam tradisi peringatan satu suro
Tradisi satu suro merupakan perayaan yang biasa diadakan masyarakat di Jawa. Tradisi ini bersifat turun temurun. Memiliki beragam ritual yang berbeda di setiap tempat. Tujuannya untuk meminta keselamatan dan ilham dari Tuhan agar dijauhkan dari hal buruk. Tradisi satu suro selalu dilakukan tepat pada tanggal satu Muharam atau tahun baru Islam. Apa saja tradisi satu suro?
Pembacaan Babad Cirebon
Di Cirebon, perayaan satu suro dilakukan di Keraton Kanoman, dengan menggelar pembacaan Babad Cirebon (Sejarah Cirebon). Menurut Syaripulloh dalam buku Tradisi Ziarah Makam Sunan Gunung Jati Cirebon Jawa Barat (2025), alasan pembacaan Babad Cirebon karena hari jadi Cirebon bertepatan dengan 1 Muharam, saat Pangeran Walang Sungsang Cakrabuana mendirikan Kesultanan Cirebon. Biasanya, diawali dengan berziarah ke Astana Gunung Sembung, yang merupakan kompleks makam Sunan Gunung Jati.
Lalu, pada 10 Muharam, digelar tradisi bubur suro untuk memperingati peristiwa terbunuhnya Sayidina Husein—cucu Nabi Muhammad—di Karbala, Irak. Tradisi ini berwujud memberikan sedekah makanan bubur dan lauk-pauknya kepada anak yatim.
Ledug suro di Magetan
Dalam buku 150++ Tradisi Hari Raya di Dunia (2012) disebutkan, tradisi legug suro dilakukan di alun-alun Kota Magetan. Upacara diawali dengan kirab Nayoko Projo dan bolu rahayu yang dibentuk sesuai rupa lesung dan bedug. Puncak acara ditutup dengan ritual andum bolu rahayu. Warga saling berebut bolu rahayu, yang dipercaya mendatangkan berkah bagi kehidupan. Bolu rahayu sendiri adalah kue tradisional berbentuk bulat telur khas Kabupaten Magetan.
Upacara labuhan di Yogyakarta
Dikutip dari buku 100 Tradisi Unik di Indonesia (2016) karya Fatiharifah labuhan artinya membuang sesuatu ke dalam air, baik sungai atau laut, maupun tempat lain yang dikhususkan. Sesuatu yang dibuang berupa sesaji atau persembahan kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Tujuannya, meminta keselamatan, baik untuk Sultan Hamengku Buwono, keraton, maupun rakyat Yogyakarta.
Awalnya, labuhan diadakan sehari setelah Pangeran Mangkubumi dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono I pada 1755. Seiring waktu, upacara ini dilakukan setiap tahun untuk memperingati upacara penobatan seorang sultan. Sejak raja ke-9 bertakhta, labuhan dilakukan satu hari setelah ulang tahun menurut penanggalan Jawa.
Menurut Muhammad Sholikhin dalam Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa (2009), labuhan yang lainnya dilakukan pada malam satu suro. Selain itu, diadakan labuhan lain setiap malam tanggal 15 Muharam di Gowongan Kidul, Yogyakarta. Upacara labuhan setiap 15 suro itu adalah rangkaian upacara ziarah satu suro di petilasan Sang Prabu Sri Adji Djojobojo di Desa Menang, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Prosesi labuan sendiri dimulai pukul 08.30 WIB, diawali iring-iringan bergodo yang membawa songsong dan ampilan labuhan. Dari Pendopo Pantai Parangtritis menyusuri pantai menuju Cepuri, sebelum dilarung di Pantai Parangkusumo.
Jumedhuling mahesa sura di Bantul
Upacara jumedhuling mahesa sura dilakukan setiap satu suro oleh masyarakat pesisir pantai selatan, tepatnya di Desa Srigading, Bantul. Prosesi upacara ini dimulai dari rumah Dukuh Tegalrejo, arak-arakan berjalan menuju pusat acara di depan Rumah Limasan Desa. Sesudah acara di kompleks Limasan, “pasukan” yang membawa jodang (peti kayu) berisi hasil bumi dan gunungan ke pesisir Pantai Samas. Di sana ritual adat jumedhuling mahesa sura dilakukan dengan fragmen upacara adat yang berasal dari cerita rakyat.
Cerita rakyat itu berdasarkan kisah penderitaan penduduk di kawasan pesisir pantai selatan yang dahulu kala kondisinya sangat memprihatinkan. Warga menderita akibat tanaman petani rusak dan banyak penyakit alias pageblug. Penderitaan itu konon disebabkan ulah kerban raksasa bernama Mahesa Sura, yang muncul pada malam satu suro, mengamuk serta merusak tanaman petani.
Lalu, muncul tokoh setempat, Ki Bekel Kentol Secawijaya atas bantuan Kanjeng Ratu Kidul, berhasil mengalahkan Mahesa Sura menggunakan cambuk sakti. Rasa syukur para petani lantas diwujudkan dengan membuat gunungan berupa hasil pertanian yang dibagi ke masyarakat serta menggelar tari-tarian.
Kirab pusaka keraton di Solo
Upacara ini cukup populer. Dikutip dari buku Festival Wauw! Aneh, Unik, Fantastik, dan Kontroversial (2012) yang ditulis Andriansyah kirab pusaka diadakan oleh Keraton Surakarta dan Puro Mangkunegaran pada malam hari menjelang satu suro. Wujudnya, pusaka-pusaka yang memiliki daya magis dibawa para abdi dalem berbusana jawi jangkep. Kirab yang berada di depan adalah sekelompok kebo bule yang dinamakan Kyai Slamet, sedangkan barisan para pembawa pusaka berada di belakangnya. Rute kirab kurang lebih tiga kilometer, dimulai dari keraton, alun-alun utara, Gladak, Jalan Mayor Kusmanto, Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso, Jalan Slamet Riyadi, Gladak, kembali ke keraton.


