Kostum Halloween yang ikut arus budaya populer
Halloween dirayakan di beberapa negara, terutama Amerika Serikat, setiap 31 Oktober. Kombinasi antara pesta, lelucon, dan keseruan yang kita kenal sebagai Halloween saat ini, sangat berbeda dari asal-usulnya di masa lampau. Selama berabad-abad, perayaan ini telah banyak berubah.
Dilansir dari National Geographic, akar Halloween berasal dari tradisi 2.000 tahun silam. Saat itu, bangsa Celtic di Eropa merayakan tahun baru mereka yang disebut Samhain.
Sejarah Halloween
Pada malam Samhain—yang kini kita sebut Halloween—dipercaya roh orang mati berjalan di Bumi dalam perjalanan menuju akhirat. Peri, iblis, dan makhluk gaib lainnya juga dianggap berkeliaran pada malam itu.
Bukit Ward (Tlachtga) di County Meath, Irlandia, dipercaya sebagai pusat utama perayaan Samhain. Pada masa itu, orang-orang menyalakan api suci untuk menyambut tahun baru dan membimbing roh yang melintasi dunia manusia. Api unggun di Tlachtga konon merupakan yang terbesar di Irlandia, bahkan terlihat hingga bermil-mil jauhnya.
“Hanya ada sedikit monumen di Irlandia yang bisa dibandingkan dengan tempat ini. Tlachtga adalah lokasi yang ajaib dan mistis,” ujar arkeolog dari University College Dublin, Steve Davis kepada BBC.
Dia meneliti situs itu pada 2014. Dia menambahkan, timnya menemukan bukti adanya kebakaran besar di sana.
“Monumen ini jelas berhubungan dengan api. Naskah abad pertengahan juga menyinggung tentang festival api tahunan yang diadakan di sini,” ujarnya.
National Geographic menulis, selain mempersembahkan hewan kurban kepada para dewa dan berkumpul di sekitar api unggu, bangsa Celtic juga mengenakan kostum—sering kali dari kulit binatang—untuk membuat bingung roh dan menghindari kerasukan. Mereka juga kerap memakai topeng dan menghitamkan wajah untuk meniru para leluhur yang telah meninggal.
“Para pemuda terkadang berpakaian silang—laki-laki seperti perempuan dan sebaliknya—sebagai simbol berakhirnya sementara batasan sosial yang biasa berlaku,” tulis National Geographic.
Dalam bentuk awal tradisi trick-or-treat, orang-orang Celtic yang mengenakan kostum roh akan berkeliling dari rumah ke rumah, melakukan tindakan lucu atau konyol untuk mendapatkan makanan dan minuman. Tradisi ini kemungkinan terinspirasi dari kebiasaan lama meninggalkan makanan dan minuman di luar rumah sebagai persembahan bagi makhluk gaib.
Pada abad ke-11, gereja Kristen mengadopsi 31 Oktober sebagai bagian dari perayaan Hari Raya Semua Orang Kudus (All Hallows’ Day) untuk menggantikan tradisi pagan. Dari sinilah istilah “All Hallows’ Eve” muncul, yang kemudian menjadi Halloween. Namun, unsur-unsur folkloristik dari Samhain tetap hidup—termasuk kebiasaan memakai kostum.

Budaya pop mengubah kostum
Tradisi Halloween dibawa ke Amerika Serikat oleh para imigran Eropa pada abad ke-19, terutama setelah gelombang besar imigrasi orang Irlandia. Kota Anoka, Minnesota, dipercaya sebagai tempat perayaan Halloween pertama di Amerika Serikat. Sejak 1920, kota ini rutin mengadakan parade dan menyalakan api unggun.
Para imigran, sebut El Pais, membawa berbagai tradisi, seperti mengukir lobak atau labu, menyalakan api unggun, dan memakai kostum. Tradisi-tradisi itu kemudian berbaur dengan kebiasaan lokal di Amerika. Di sana, labu—yang mudah ditemukan saat musim panen—akhirnya menggantikan lobak dan menjadi simbol khas Halloween.
Menurut CNN, kostum Halloween pada paruh pertama abad ke-20 jauh lebih menyeramkan dibandingkan dengan kostum masa kini. Misalnya, foto dari awal 1900-an yang menampilkan seorang perempuan di pedesaan Amerika dengan wajah tertutup topeng putih. Ada foto lain dari tahun 1930, yang menampilkan sosok tinggi terbungkus kain putih dan pita hitam berdiri di lapangan.
“Sebelum menjadi pesta keluarga dan hiburan seperti sekarang, 31 Oktober dulunya sangat erat kaitannya dengan hantu dan takhayul,” ujar penulis dan sejarawan Lesley Bannatyne kepada CNN.
“Hari itu dianggap sebagai waktu ‘di luar kebiasaan’, saat orang bisa bertingkah di luar norma sosial.”
Maka, kata Bannatyne, mengenakan kostum seram adalah bagian penting dari perayaan tersebut. Sejarawan mode dan direktur program studi kostum di New York University, Nancy Deihl, orang-orang di pedesaan Amerika di masa lalu sangat mempertahankan akar pagan Halloween yang kelam dan berfokus pada kematian.
“Mereka membuat kostum menyeramkan dari bahan seadanya—seprai, riasan, atau topeng buatan sendiri,” kata Deihl kepada CNN.
Seiring berjalannya waktu, kostum Halloween mulai dikomersialisasikan. Tahun 1930-an, perusahaan seperti J. Halpern Company di Pennsylvania melisensi karakter seperti Popeye, Olive Oyl, Mickey Mouse, dan Little Orphan Annie, sebagai kostum bertema budaya pop.
Setelah Perang Dunia II, televisi memperkenalkan budaya pop ke rumah-rumah keluarga Amerika, sehingga kostum Halloween terinspirasi pahlawan super, karakter komik, dan tokoh hiburan. Perusahaan Ben Cooper menguasai 80% pasar kostum Halloween pada 1960-an, mengubahnya menjadi fenomena budaya populer.
“Sekitar waktu inilah, orang dewasa kembali ikut berdandan, tetapi dengan pendekatan yang lebih menyenangkan. Kostum tidak lagi berfungsi untuk menakut-nakuti, melainkan untuk berekspresi dan bersenang-senang,” tulis CNN.
Meski demikian, kostum menyeramkan tetap bertahan, didorong oleh popularitas film horor 1970–1980-an seperti Halloween dan A Nightmare on Elm Street.
Tahun 1980-an, menurut Childrens Theatre, tak hanya horor, kepopuler film fiksi ilmiah dan fantasi seperti Star Wars dan E.T. juga menginspirasi banyak pilihan kostum baru.
“Semua itu tak lepas dari pengaruh para pembuat film visioner seperti George Lucas dan Steven Spielberg, yang berhasil membawa karakter-karakter mereka menjadi bagian dari budaya Halloween,” tulis Chindrens Theatre.
Memasuki tahun 1990-an dan seterusnya, tren kostum yang terinspirasi budaya pop semakin kuat. Era 1990-an hingga awal 2000-an, kostum yang populer, di antara lain Marty McFly dari film Back to the Future, The Terminator, Ghostface dari Scream, dan karakter-karakter Harry Potter.
Tahun 2023, menurut survei National Retail Federation yang dilakukan Prosper Insights & Analytics, total belanja untuk Halloween di Amerika Serikat, termasuk kostum mencapai rekor 12,2 miliar dolar AS. Media sosial pun jadi inspirasi kostum.
“Media sosial terus berkembang sebagai sumber inspirasi kostum bagi konsumen muda karena semakin banyak orang di bawah 25 tahun yang beralih ke TikTok, Pinterest, dan Instagram untuk mencari ide,” ucap Wakil Presiden Eksekutif Strategi Prosper Insights, Phil Rist.
National Retail Federation mencatat, pada 2023 kostum Halloween yang populer bagi anak-anak adalah Spiderman, sedangkan orang dewasa mayoritas memilih kostum penyihir.
“Sepanjang sejarahnya, Halloween terus mengalami pergeseran makna dan kepemilikan,” kata sosiolog di London College of Fashion, Anna-Mari Almila kepada CNN.
“Keterkaitannya dengan kematian semakin pudar, membuka ruang bagi jenis kostum yang sama sekali berbeda.”


