Hukuman bagi penulis KTI di BRIN: Sebuah ironi dan irasionalitas 

Manajemen BRIN bukan menghargai para penulis yang menggunakan berbagai disiplin ilmu, tetapi malah memberikan hukuman disiplin.

Subarudi

Pertama-tama, saya mengucapkan turut belasungkawa dan turut prihatin dengan penjatuhan sanksi etika kepada para penulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul” “Review: A Chronicle of Indonesia’s Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare” yang diterbitkan pada Jurnal LAND pada 16 Juni 2023 dengan status Terindeks Global Tinggi (Q1) baik di e-peneliti maupun di Scopus.

Informasi tersebut saya peroleh berdasarkan hasil penuturan beberapa penulis KTI tersebut yang telah mengikuti webinar pada Senin, 8 Januari 2023, antara para penulis dengan pimpinan instansinya. Hasil kesimpulan webinar adalah, para penulis tersebut dikenakan sanksi penurunan nilai perilaku dalam penilaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dengan konsekuensi terkena pemotongan tunjangan kinerja (tukin) antara 10%-20% selama satu tahun.

Ternyata, rencana hukuman tersebut direalisasikan juga. Saya tidak habis pikir dan mengerti mengapa semua ini terjadi di tengah manajemen BRIN sedang bergembira ria karena publikasi global yang dihasilkan peneliti, periset, dan perekayasa BRIN 2023 telah mencapai 4.633 publikasi. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya sekitar 3000-an publikasi (Kompas, 25/12/2023).

Dapat diibaratkan mereka menari-nari di atas penderitaan para penelitinya karena kemungkinan besar kenaikan jumlah publikasi tersebut sebagai dampak diberlakukannya Keluaran Kinerja Minimal (KKM). Di mana, setiap peneliti/periset/perekayasa diwajibkan menghasilkan karya tulis ilmiah (KTI) di jurnal-jurnal internasional yang terindeks global. Jumlah KTI yang meningkat juga bukan semua atas hasil kegiatan riset di BRIN, tetapi juga sisa-sisa data dari hasil riset ketika penelitinya masih berada di Badan Litbang di kementerian/lembaga. 

Ada yang mengagetkan dan sekaligus tantangan bagi penulis ketika diminta para penulis KTI “A Cronicle” lainnya, untuk ikutan membuat surat permohonan maaf dan sekaligus mencabut artikel yang sudah terbit tersebut kepada penerbitnya dengan alasan yang tidak jelas oleh Dewan Etik, BRIN. Tentunya penulis akan menolak tegas dengan argumentasi yang logis bahwa semua saran dan rekomendasi Dewan Etik itu tidak ada dasar hukum tertulis yang dijadikan dasar.