Kecebong vs Kampret, fabel politik nihil hikmah

Dahulu penggunaan karakter binatang sebagai bahan satire agar manusia merasa malu dan pada akhirnya mampu berbuat lebih baik.

Sobih Adnan/dok. pribadi

*Penulis dan penikmat sastra. Aktif dalam berbagai kajian sastra dan pesantren. Mengabdi di majelis Surah Sastra Jakarta dan Komunitas Seniman Santri (KSS) Cirebon.

Kecebong dan kampret, dua binatang -yang barang kali- lebih masyhur ketimbang cenderawasih Bhin-Bhin, rusa Bawean Atung, dan badak bercula satu yang dinamai Kaka. Padahal, di wajah lucu tiga hewan terakhir itu, pamor Indonesia akan dipertaruhkan sebagai tuan rumah.

Kabar persiapan pesta olahraga ke-18 sewilayah Asia yang mengusung maskot tersebut masih kalah sepi dibanding dua sebutan yang lahir dari polarisasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kecebong, disasarkan bagi siapa pun yang terkesan menjadi pendukung Joko Widodo. Sedangkan kampret, dirujuk kepada pihak yang berseberangan dengan mereka.

Meski pada dasarnya, penamsilan karakter binatang yang memuai dari persoalan sosial semacam ini bukan barang baru. Tetapi, ada pola terbalik yang pada hari ini penyusunan struktur fabel seperti itu sama sekali tak membawa manfaat, dan cenderung terus merugikan.

Jika dahulu penggunaan karakter binatang sebagai bahan satire agar manusia merasa malu dan pada akhirnya mampu berbuat lebih baik, sekarang, tidak lagi. Pemunculan nama itu tak lebih dari sekadar cemoohan. Minus pesan, nihil hikmah.

Belajar dari hewan
Filsuf Yunani, Aesop dikenal sebagai bapak fabel dunia. Di tangannya, ia pelopori kisah hewan yang memiliki karakter persis manusia. Dongeng yang dihasilkan dari pria kaya yang lahir sekitar 650 sebelum masehi itu dipercaya mampu menjadi rambu tingkah laku di sepanjang waktu. Siapa yang tak kenal istilah 'srigala berbulu domba'? Dari salah satu fabel karya Aesop itu lah, banyak manusia belajar betapa tampilan fisik tak mencukupi apa-apa yang dikandung dalam sanubarinya.