Kepemimpinan dan adaptasi kenormalan baru

Publicity stunt ala Presiden Jokowi mengabaikan substansi pengelolaan pandemi kontras dengan aksi nyata para kepala daerah.

M Rahmat Yananda

Kelemahan Presiden Jokowi Widodo dalam mengelola pandemi Covid-19 adalah, kecenderungannya untuk mengedepankan aksi publisitas mencapai tujuan strategis, yaitu pemulihan ekonomi. Aksi ini seringkali tidak selaras dengan substansi permasalahan pandemi.

Bahkan aksi tersebut kurang sejalan dengan tampilan Gugus Tugas yang berhati-hati dalam berkomunikasi dan membuat keputusan sebagai wajah pemerintah di publik. Sejak awal pandemi, pemerintah lebih fokus kepada persoalan ekonomi daripada kesehatan. Dalam praktiknya, kebijakan pemerintah sarat dengan narasi ekonomi. 

Yang termutakhir adalah kampanye “kenormalan baru (new normal)” yang diinisiasi langsung Presiden dengan melakukan simulasi protokol kesehatan untuk beraktivitas di pusat perbelanjaan. Sementara itu, kasus positif dan meninggal masih bertambah, tes belum maksimal, dan prasyarat lain menuju kenormalan baru belum terpenuhi. Apalagi potensi gelombang kedua juga terbuka. Indonesia masih dalam tahap merespons pandemi, belum masuk ke tahap pemulihan dan masih jauh dari berhasil (Egger dkk., 2020, Deloitte Insight).

Sedangkan menurut McKinsey (Daly, 2020), banyak pemerintah di negara berkembang di Asia masih dalam tahap sangat awal, yaitu resolve yang akan diikuti oleh tahap resilience, return, reimagine, dan reform.

Dalam tahap resolve, pemerintah masih beroperasi dalam moda krisis yang masih jauh dari pembukaan ekonomi (return) karena terlebih dahulu harus memastikan risiliensi (resilience) mengatasi kasus berjalan dan ancaman kasus baru.