Lima seniman, lima ekspresi mural daulat pangan

Seni tak terpisahkan dengan kondisi kebangsaan dan mendesaknya fenomena penyadaran publik menyoal Daulat Pangan Lokal.

Bambang Asrini

If my art has nothing to do with people's pain and sorrow, what is 'art' for?
-- Ai Weiwei

Sejak era modern hadir ratusan tahun lampau, tak pelak seni rupa acapkali mengambil peran mewakilkan keberadaannya untuk memahami realitas dunia yang rapuh. Di mata batin seniman, serpihan-serpihan hidup yang penuh luka divisualkan.

Kadang seni memintal abstraksi absurditas hidup yang fana; yakni entitas sangat intim sang seniman sekaligus spirit memberi pencerah pada sang liyan. Semacam tindak asketis mewujudkan empati mendalam secara komunal tatkala krisis kemanusiaan menghampiri.  

Sudjojono, sang “ahli gambar itu” berteriak berlarat-larat bahwa seni layak berpihak pada realitas penderitaan, yang tentu dekat pada kebenaran saat sang maestro seni kita itu menjadi saksi Republik ini baru berdiri dan penderitaan meruyak dimana-mana. Terutama fenomena kelaparan dan penyakit busung lapar di depan mata. “Kebagusan dalam seni zonder kebenaran adalah jelek, njelehi!” katanya lantang. Demikian pula Ai Weiwei, aktivis dan seniman kontemporer Tiongkok itu, di abad 21 ia menggugat untuk apa ada seni jika seniman tidak berempati pada derita sang liyan?

Harian Kompas pada 8 Desember, benar-benar mengejutkan, di halaman depan menyajikan narasi fakta-fakta, bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia sekitar 183,7 juta orang atau 68% populasi ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Pangan bergizi masih sulit dijangkau warga Indonesia. 
Apa jadinya generasi penerus kita jika gizi tak tercukupi, masa depan jelas-jelas terhantui malapetaka, sebab generasi penerus menjadi tak sehat- mengalami stunting, tubuh bertumbuh dewasa tak normal-kerdil yang mengakibatkan tak produktif. Sebuah ancaman serius bagi kedaulatan sumber daya manusia di Republik ini.