Logika politik 55:45

Presiden terpilih memerlukan dukungan oposisi untuk menguatkan legitimasi kemenangannya secara sosial.

Dedi Kurnia Syah Putra Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO)./Alinea

Setelah panggung sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK) usai, kini keriuhan komunikasi politik bergeser ke arena baru, panggung rekonsiliasi. Di mana mengemuka tawaran politis kubu Prabowo Subianto, melalui Amien Rais terkait pembagian kekuasaan sebesar 45 persen untuk kubu Prabowo, dan 55 persen milik pemenang Pemilu.

Logika semacam ini, dekat dengan adaptasi pemikiran John Locke (1632) tentang distribution of power, di mana pemerintahan eksekutif dan legislatif, dikuasai oleh kelompok yang sama, elite politik. Tentu, jika tawaran itu terjadi maka kita akan menemui kader Parpol di Senayan, lalu menemui mereka kembali di kementerian-kementerian.

Kondisi demikian, membuat Parpol menguasai dua lembaga yang seharusnya terpisah, pemerintah menjalankan pemerintahan sekaligus negara. Sementara parlemen melakukan fungsi pengawasan, penentuan anggaran, dan perundang-undangan. Menjadi bias ketika pengawas dan yang di awasi, merupakan kelompok yang sama. Memang, secara politis cukup rasional jika Amien Rais hidup di era John Locke, bukan hari ini.

Sementara saat ini, dengan kondisi Indonesia yang penuh liku dan dinamika, seharusnya konsisten dengan mengadaptasi pemikiran Montesquieu (1748), tentang pemerintahan terpisah atau separation of power. Di mana pemerintahan harus dipisahkan dengan legislatif, tentu pemisahan ini berikut orang-orang yang menduduki jabatan tersebut.

Tawaran Sulit