Lukisan alam yang tak terindera

Mata inderawi kita tak bisa mengenali kepersisan bentuk seperti aselinya, sebab lukisan-lukisan itu abstraktif.

Bambang Asrini Widjanarko. Foto istimewa

Menikmati lukisan-lukisan Restu Taufik Akbar di CG artspace, Pondok Pinang, Jakarta, yang merupakan kerja kolaborasi dua galeri seni rupa, yakni Rumah Miring-CG Artspace dan Artsocietes. Acara yang dihelat pada Akhir Mei sampai awal Juni ini, kita sebagai apresian menjadi tetiba menyukai melamun, atau termenung tepatnya, menggunakan nalar pun sekaligus rasa kita.

Lukisan-lukisan abstrak, yang tak membentuk pola-pola presisi objek-objek yang kita kenali, misalnya dalam lukisan Taufik seperti daun, pohon, dan air menjadi imej-imej terpiuh.

Mata inderawi kita tak bisa mengenali kepersisan bentuk seperti aselinya, sebab lukisan-lukisan itu abstraktif. Ditambah dengan secara fisik, kanvas lukisanya-baik yang berukuran besar dan kecilnya, yang biasanya menjadi latar lukisan tetiba juga diimbuhi ada kilauan dan bentuk cermin. Secara riil, cermin itu ada dan kita sadari di ruang pamer seperti seolah melihat bayangan kita sendiri sebagi manusia yang melihat alam.

Kemudian, pameran solo yang diberi judul “The object closer the they are appear” ini, mengantar kita pada sejumlah pemikiran-pemikiran termasuk ungkapan senimannya secara visual di lukisan pun pengantar kuratorial dari Agung Hujatnikajenong yang cukup mengesankan.

Seni rupa memang adalah produk pemikiran sekaligus rasa; yang estetis sekaligus yang spiritual, tentunya tak semestinya yang kita lihat saja, namun bangunan konsep sebagai latar wacana dan pada akhirnya: pengalaman rasa tertentu yang membimbing kita untuk mengapresiasi.