Mencari pemimpin berintegritas

Pada konteks kepemimpinan bernegara moral dan integritas adalah faktor penentu seseorang akan melakukan kejahatan korupsi atau tidak

Krisis upaya preventif aparat penegak hukum menunjukkan runtuhnya integritas pejabat negara dari kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, menjadi potret hitam bagi masa depan penegakan hukum di negeri ini. Hukum yang digadang-gadangkan sebagai alat penguatan moral dan integritas tak kunjung mampu menindak-lanjuti diskursus tentang perbuatan skandal korupsi.

Setiap lembaga independen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap tingkah laku pemimpin negeri yang berprilaku koruptif. Faktornya adalah dilema integritas, tak lepas dari prilaku korupsi atau suap yang dilakukan oleh Kepala Daerah, Hakim, Jaksa, Panitera, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik yang tertangkap itu pada tingkat pusat maupun daerah. Integritasnya bermasalah.

Dari sekian banyak perkara korupsi yang sudah ditangani oleh KPK mulai tak terhitung jumlah tersangkanya, mayoritas tersangka yang memasuki rumah tahanan KPK adalah pejabat negara yang mengalami krisis pengamalan moral dan integritas, sehingga secara mendasar korupsi dianggap sesuatu yang sangat lumrah terjadi di suatu negara. Sebab korupsi dan negara adalah suatu hal yang tidak terpisahkan.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat tidak hanya membutuhkan kapasitas pemimpin atau pejabat negara yang mempunyai intelektualitas yang tinggi. Namun, sebaliknya masyarakat dalam kehidupan bernegara membutuhkan pejabat negara yang mempunyai prinsip serta sikap yang mampu menjunjung tinggi moral, integritas, dan menyadari akan ketaatan hukum.

Sebab itulah apabila kita mencermati kondisi penegakan hukum di negeri ini cukup maksimal, hanya saja kini diskursus korupsi semakin membabi buta di berbagai lini kekuasaan, sehingga masyarakat cenderung menyalahkan sistem yang sudah ada. Padahal sebenarnya sistem regulasi atau hukum kita sudah cukup baik untuk ditegakkan.