close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Muhammad Sufyan Abdurrahman. Foto dokumentasi.
icon caption
Muhammad Sufyan Abdurrahman. Foto dokumentasi.
Kolom
Jumat, 22 Agustus 2025 19:40

Demokrasi visual dan krisis rasionalitas publik

Dalam negara demokrasi yang sehat, kepemimpinan bukan sekadar panggung individual, tetapi tentang pembentukan sistem yang bekerja meskipun pemimpinnya berhalangan.
swipe

Jika kita cermati, serangan digital kian hari kian menjadi di negeri ini. Terutama pada mereka yang kritis pada pemimpin populer. Contoh terbaru dialami Ataliya Ridwan Kamil yang dirisak die-harder Gubenur Jabar KDM (Kang Dedi Mulyadi) terkait kelas belajar isi 50 anak. Sebelum itu, serangan siber personal menimpa Trisa Triandesa, neuroscience communicator, juga setelah mengkritisi kebijakan KDM masuk sekolah jam 6 pagi. 

Di sisi lain, survei Indikator Politik, akhir Mei lalu, menyebutkan gubernur tersebut memperoleh sematan kepala daerah berkinerja paling memuaskan. Simultan, video bupati/walikota hingga menteri yang marah-membentak saat sidak, viralitas-nya kian mudah ditemukan. Mengapa masyarakat Indonesia, terutama warganet, kian tenggelam patron mencintai pemimpin yang “beraksi”, bukan yang “bekerja? 

Di tengah era keterbukaan informasi dan ekspansi media sosial, kita menyaksikan munculnya tipe pemimpin baru yang jauh dari kerangka birokrasi klasik. Mereka bergerak cepat, responsif, suka blusukan, penuh empati—namun sayangnya bekerja secara sporadis, personalistik, bahkan sering kali tampil one man show. Pendekatannya dominan intervensi personal ketimbang pembangunan sistematis. Ia turun tangan ke lapangan, menyelesaikan masalah rakyat satu per satu. Gaya yang sangat menarik secara visual, mudah dikemas menjadi konten, namun umumnya tak sistematis-berkelanjutan. Anehnya, justru gaya inilah yang paling disukai publik digital. 

Mengapa gaya ini kian favorit? Jawabannya tidak sesederhana jumlah like, comment, atau share. Dalam negara demokrasi yang sehat, kepemimpinan bukan sekadar panggung individual, tetapi tentang pembentukan sistem yang bekerja meskipun pemimpinnya berhalangan. Ketika pemimpin menjadi pusat segalanya (perencana, pelaksana, bahkan juru bicara utama kebijakan), besar kemungkinan keberlanjutan dan akuntabilitas terancam. 

Tanpa struktur, birokrasi itu pelengkap penderita. Tanpa distribusi peran, pelayanan publik rapuh. Yang sama mengkhawatirkan dari itu semua adalah bersandingnya budaya pembungkaman kritik. Media sosial kian tampil sebagai pengadilan digital, yakni area serangan personal makin gencar, alih-alih menjadi digital public sphere untuk sebuah kebijakan publik.  Kritik ke kepala daerah viral kerap direspons cacian, bukan argumen. Balairung ruang maya masih dan tetap gagap dialektika karena media sosial justru menciptakan chilling effect kepada yang berbeda pendapat dari mayoritas. Debat sehat terus digantikan labelisasi hingga cancel culture.

Ada tiga penyebab utama pendorong fenomena tidak sehat ini di mata penulis. Pertama, publik lebih terhubung figur ketimbang sistem. Representasi visual pemimpin yang hadir langsung di lapangan, menolong rakyat secara personal, jauh lebih menarik dibanding data reformasi kelembagaan atau penguatan sistem layanan publik. Figur yang bekerja di depan kamera langsung mendapat tempat meskipun substansi kerjanya belum tentu berdampak panjang.

Kedua, algoritma media sosial terus memperkuat bias persepsi. Kita hidup dalam ekosistem digital yang terus-menerus menampilkan konten menghibur, menyentuh emosi, dan mengukuhkan keyakinan sendiri. Dalam ruang ini, pemimpin yang tampil heroik setiap hari mudah mendapat dukungan, sementara kritik dan wacana sistemik tenggelam karena dianggap “tidak menarik.” Popularitas adalah ukuran keberhasilan, bukan efektivitas kebijakan.

Ketiga, pendidikan politik warga masih lemah. Banyak orang tidak memahami bagaimana negara seharusnya bekerja. Tidak diajarkan pentingnya institusi, pembagian kewenangan, sistem kontrol, dan perencanaan kebijakan jangka panjang. Akibatnya, mereka cenderung melihat pemimpin ideal sebagai sosok penyelamat tunggal, bukan penggerak sistem kolektif.

Untuk keluar kondisi ini, dibutuhkan upaya perbaikan, jangka pendek maupun panjang. Dalam jangka pendek, ruang digital harus dipulihkan sebagai tempat berbagi ide, bukan ajang serangan. Aktivis, jurnalis, dan akademisi harus bersatu menghadirkan narasi tandingan yang tidak kalah menarik. Konten edukatif yang menjelaskan pentingnya sistem, institusi, dan tata kelola harus dibuat dengan format yang mudah diakses: video singkat, infografik, podcast. Kita perlu menunjukkan kerja diam-diam membangun sistem sama pentingnya --jika bukan lebih penting-- daripada kerja gemerlap depan kamera.

Refomasi kewarganegaraan

Dalam jangka panjang, pendidikan kewargaan direformasi. Sekolah dan universitas harus mengajarkan logika dasar demokrasi: pemimpin yang baik bukan yang serba bisa, tetapi yang membangun sistem agar semuanya bisa berjalan tanpa dirinya. Pemahaman ini harus ditanamkan sejak dini, agar generasi mendatang tidak mudah terkecoh citra semu. Selain itu, partai politik dan lembaga negara juga harus berhenti mempromosikan kultus individu. Sudah saatnya mengangkat pemimpin yang mampu membangun sistem, bukan sekadar memenangkan panggung publik. Demokrasi yang matang memerlukan lebih dari sekadar figur karismatik. Ia butuh mekanisme, institusi, dan warga negara yang kritis.

Kita tidak bisa membiarkan demokrasi dijalankan seperti pertunjukan realitas. Kita tidak butuh pemimpin yang hanya bersinar sendirian. Kita butuh mereka yang menyalakan lampu bagi seluruh sistem. Saatnya publik mendewasa: berani berpihak pada sistem, bukan sekadar sosok. 

img
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Kolomnis
img
sat
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan