Menyoal kandidasi Pilkada Serentak 2020 

Teori dramaturgi ala Goffman tepat untuk menggambarkan bagaimana proses kandidasi Pilkada 2020 dilakukan parpol.

Nurrochman

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 akan digelar pada 23 September di 270 daerah. Tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020 saat ini memasuki tahap penjaringan bakal calon kepala daerah yang dilakukan partai politik. Sejumlah tokoh yang ingin berlaga di Pilkada 2020 pun mulai melakukan pendekatan intensif ke sejumlah partai, tentu dengan harapan mendapatkan tiket pencalonan. 

Menarik mengamati proses kandidasi Pilkada 2020 oleh sejumlah parpol yang umumnya dilakukan secara tertutup. Seleksi bakal calon kepala daerah yang dilakukan secara tertutup ini dalam banyak hal merepresentasikan teori dramaturgi yang dicetuskan oleh Erving Goffman (1956). Teori dramaturgi Goffman menggambarkan kehidupan sosial-politik laiknya pertunjukan teater yang memiliki panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).

Panggung depan ialah arena para aktor menyajikan penampilan sesempurna mungkin di depan penonton. Sementara panggung belakang ialah arena dimana para aktor bebas melakukan apa saja lantaran steril dari jangkauan penonton. Goffman menyebutkan bahwa antara panggung depan dan panggung belakang, terdapat perbedaan yang sangat kontradiktif. 

Teori dramaturgi ala Goffman itu kiranya tepat untuk menggambarkan bagaimana proses kandidasi Pilkada 2020 dilakukan parpol. Di panggung depan, kandidasi seolah dilakukan secara terbuka, melibatkan seleksi, fit and proper test dan tahapan formalistik lainnya. Namun, di panggung belakang, arena yang luput dari perhatian publik, kandidasi Pilkada 2020 diwarnai oleh praktik negosiasi-transaksional yang tidak jarang melibatkan pertukaran uang dan pembagian kekuasaan. Hasil akhir dari praktik transaksional itu pun dengan mudah dapat ditebak. Siapa yang mampu menunjukkan posisi tawar (bargaining position) paling kuat, dialah yang paling berpeluang mendapatkan tiket pencalonan. 

Model kandidasi tertutup disertai praktik transaksional seolah menjadi lazim dalam tradisi politik kita. Mulai level nasional, seperti pencalonan presiden dan wakil presiden, hingga level lokal seperti pencalonan gubernur dan bupati/walikota, kandisasi yang diwarnai politik transaksional seolah tidak bisa dihindari. Menjadi wajar jika dunia politik kita mengenal istilah “mahar politik”. Dalam konteks kandidasi pilkada, mahar politik telah menjadi fenomena gunung es yang tampak sedikit di puncak, namun berserak di bawah. Para elite politik memang kerap menampik praktik kotor tersebut, namun aroma lancungnya kadung menyebar ke publik.