sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Nurrochman

Menyoal kandidasi Pilkada Serentak 2020 

Nurrochman Jumat, 28 Feb 2020 19:05 WIB

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 akan digelar pada 23 September di 270 daerah. Tahapan penyelenggaraan Pilkada 2020 saat ini memasuki tahap penjaringan bakal calon kepala daerah yang dilakukan partai politik. Sejumlah tokoh yang ingin berlaga di Pilkada 2020 pun mulai melakukan pendekatan intensif ke sejumlah partai, tentu dengan harapan mendapatkan tiket pencalonan. 

Menarik mengamati proses kandidasi Pilkada 2020 oleh sejumlah parpol yang umumnya dilakukan secara tertutup. Seleksi bakal calon kepala daerah yang dilakukan secara tertutup ini dalam banyak hal merepresentasikan teori dramaturgi yang dicetuskan oleh Erving Goffman (1956). Teori dramaturgi Goffman menggambarkan kehidupan sosial-politik laiknya pertunjukan teater yang memiliki panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage).

Panggung depan ialah arena para aktor menyajikan penampilan sesempurna mungkin di depan penonton. Sementara panggung belakang ialah arena dimana para aktor bebas melakukan apa saja lantaran steril dari jangkauan penonton. Goffman menyebutkan bahwa antara panggung depan dan panggung belakang, terdapat perbedaan yang sangat kontradiktif. 

Teori dramaturgi ala Goffman itu kiranya tepat untuk menggambarkan bagaimana proses kandidasi Pilkada 2020 dilakukan parpol. Di panggung depan, kandidasi seolah dilakukan secara terbuka, melibatkan seleksi, fit and proper test dan tahapan formalistik lainnya. Namun, di panggung belakang, arena yang luput dari perhatian publik, kandidasi Pilkada 2020 diwarnai oleh praktik negosiasi-transaksional yang tidak jarang melibatkan pertukaran uang dan pembagian kekuasaan. Hasil akhir dari praktik transaksional itu pun dengan mudah dapat ditebak. Siapa yang mampu menunjukkan posisi tawar (bargaining position) paling kuat, dialah yang paling berpeluang mendapatkan tiket pencalonan. 

Model kandidasi tertutup disertai praktik transaksional seolah menjadi lazim dalam tradisi politik kita. Mulai level nasional, seperti pencalonan presiden dan wakil presiden, hingga level lokal seperti pencalonan gubernur dan bupati/walikota, kandisasi yang diwarnai politik transaksional seolah tidak bisa dihindari. Menjadi wajar jika dunia politik kita mengenal istilah “mahar politik”. Dalam konteks kandidasi pilkada, mahar politik telah menjadi fenomena gunung es yang tampak sedikit di puncak, namun berserak di bawah. Para elite politik memang kerap menampik praktik kotor tersebut, namun aroma lancungnya kadung menyebar ke publik.

Amatan sederhana menunjukkan bahwa femomena kandidasi pilkada yang bersifat tertutup dan transaksional ini dilatari oleh setidakya tiga hal. Pertama, kecenderungan partai untuk bersikap pragmatistik dalam mengusung calon kepala daerah. Selama ini, keputusan partai mengusung kandidat kepala daerah lebih banyak didasari pada variabel popularitas, kekuatan modal finansial serta jaringan politiknya.

Sebaliknya, variabel penting seperti visi-misi, program kerja, ideologi politik, integritas serta rekam jejak bakal calon kepala daerah justru kerapkali diabaikan. Cara pandang pragmatistik inilah yang melatari terjadinya praktik negosiasi-transaksional dalam setiap seleksi bakal calon kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik. 

Dampak lain dari pragmatisme partai ini ialah kian membengkaknya ongkos pencalonan dan pemenangan pilkada. Para kandidat kepala daerah harus menyiapkan dana besar untuk setidaknya dua pos anggaran. Pos anggaran pertama ialah untuk mahar politik demi mendapatkan tiket pencalonan. Pos anggaran kedua ialah untuk dana kampanye

Sponsored

Edward Aspinall dan Edward Berenschot (2019) dalam Democracy for Sale menyebutkan bahwa dalam banyak kasus pilkada, partai acapkali hanya menyediakan tiket pencalonan, tanpa memberikan jaminan mesin politik akan bekerja bagi kandidat yang diusungnya. Alhasil, para calon kepala daerah harus membentuk tim pemenangan di luar jalur parpol yang juga membutuhkan dana besar. Demokrasi lokal yang digerakkan oleh kapital finansial inilah yang melatari tumbuh suburnya korupsi, kolusi dan nepotisme di level pemerintah daerah. 

Faktor kedua, ialah kegagalan partai dalam melakukan kaderisasi politik. Sebagai institusi politik milik publik, salah satu tugas pokok partai ialah melakukan pendidikan sekaligus kaderisasi politik kepada konstituen hingga di tingkat akar rumput. Kaderisasi partai dengan mekanisme berjenjang dan bertumpu pada prinsip meritokrasi akan melahirkan sistem regenerasi dan sirkulasi anggota serta pimpinan partai secara demokratis. Kader-kader terbaik yang berjuang dari bahwa dengan idealisme dan integritasnya memungkinkan untuk mengambil peran penting di tengah publik. Salah satunya diusung dalam bursa pilkada.  

Ironisnya, sebagian besar partai politik di Indonesia belum memiliki mekanisme kaderisasi berjenjang yang profesional dan modern. Nyaris seluruh partai di Indonesia dikelola dengan cara-cara tradisional dan belum mengadopsi sistem manajemen yang bertumpu pada konsep birokrasi modern. Sebagian partai dikelola layaknya yayasan sosial berbasis kekekulargaan, dimana posisi-posisi strategis di dalamnya dikuasai oleh orang-orang yang masih bertalian kerabat. Sebagian partai lainnya dikelola layaknya perusahaan, dimana para petingginya merupakan para pemegang saham yang telah menginvestasikan sejumlah besar uang untuk partai. Para pemegang saham ini lantas mengendalikan parpol sesuai dengan kepentingan ekonomi dan politiknya. Kondisi itulah yang menyebabkan kebanyakan parpol di Indonesia berwatak oligarkis. 

Faktor ketiga ialah fakta bahwa nyaris semua parpol memiliki sosok sentral yang memiliki kekuasaan mutlak dan tidak terbatas untuk mengatur dan mengendalikan parpol. Sudah menjadi kelaziman bahwa sejumlah parpol di Indonesia dikendalikan oleh figur kunci yang acapkali memainkan peran sebagai veto player di dalam partai masing-masing. Untuk menyebut sejumlah nama misalnya sosok Megawati di PDI Perjuangan, SBY di Demokrat, Surya Paloh di Nasdem dan sejumlah nama lainnya. Adanya figur sentral pemegang hak veto ini menyumbang andil pada terbentuknya watak feodalistik partai. 

Ketiga faktor itulah yang menyebabkan kandidasi kepala daerah dilakuan di ruang-ruang tertutup, tidak melibatkan partisipasi publik dan kerap diwarnai politik transaksional. Fenomena ini tidak hanya mendegradasi fungsi partai politik, namun juga telah merusak demokrasi dari dalam. Partai yang idealnya menjadi pilar demokrasi dengan melakukan pendidikan politik, kaderisasi dan kandidasi justru terjebak ke dalam praktik politik yang dilandasi tukar-menukar kepentingan berbasis kapital finansial dan jaringan kekuasaan. Jika tahap kandidasinya bobrok, lantas bagaimana kualitas pemimpin yang dihasilkan dari proses pilkada yang mahal itu? 

Dalam konteks demokrasi lokal seperti pilkada, proses kandidasi merupakan satu etape penting dalam menghasilkan pemimpin daerah yang progresif dan berintegritas. Di titik inilah, peran partai sebagai institusi politik yang berhak menyeleksi dan mengajukan calon kepala daerah menjadi sangat signifikan. Proses kandidasi pilkada yang profesional, transparan dan melibatkan partisipasi publik memungkinkan munculnya calon kepala daerah yang bermodal visi membangun dan kecakapan memimpin. Sebaliknya, kandidasi pilkada yang dilakukan serba tertutup dan transaksional bisa dipastikan hanya akan memunculkan calon kepala daerah yang mengandalkan popularitas, modal finansial dan jaringan kekuasaan. 
 

Berita Lainnya
×
tekid