Panggung narasi cawapres

Politik di era televisi lebih didominasi informasi imajiner dibanding informasi realistis.

Dedi Kurnia Syah Putra, Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik (PSDPP) Dosen Komunikasi Politik Universitas Telkom

Presentasi demokrasi sedang dihelat oleh penyelenggara negara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui debat calon wakil presiden (cawapres) Republik Indonesia, agar rakyat memiliki pemimpin yang tidak saja cakap bekerja, melainkan cakap berpikir. 

Gemuruh apresiasi mengemuka pascadebat yang disiarkan langsung di malam Minggu (17/3). Menarik, debat kali ini mempertemukan dua anak bangsa berbeda generasi, Kiai Ma’ruf Amin cawapres Joko Widodo dan Sandiaga Salahuddin Uno cawapres Prabowo subianto.

Debat sejatinya menjadi ruang tarung untuk meraup kebenaran sebesar-besarnya, sebagaimana keyakinan Socrates (469-399 sm), bahwa debat tidak dilakukan selain untuk pembuktian sebuah kebenaran.

Lalu, apakah ada yang hendak dibuktikan oleh kedua cawapres di atas? Tentu saja ada, setidaknya kebenaran bahwa kedua cawapres tersebut merupakan tokoh yang layak dipilih.

Dalam debat cawapres kali ini, kebenaran yang hendak dikemukakan oleh kedua cawapres adalah soal peneguhan ketokohan. Ma’ruf Amin membangun dirinya dengan identitas religiusitas, sehingga diksi yang dominan dari setiap statemennya adalah diksi islami.