Peer-to-peer lending, alternatif pembiayaan dan investasi

Industri peer-to-peer lending di Indonesia relatif lebih baik dari China.

dok. pribadi

Peer-to-peer lending platform di Indonesia menghubungkan UKM yang membutuhkan pinjaman untuk mengembangkan usaha dengan crowd investor yang memiliki dana lebih untuk mendanai pinjaman tersebut.
Industri ini muncul karena ada kebutuhan segmen yang tidak terlayani jasa keuangan konvensional. Misalkan saja pelaku usaha yang tidak mempunyai fix asset serta kebutuhan pinjaman yang hanya sekitar tiga sampai empat bulan saja.

Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai ada jurang pendanaan sebesar Rp1.000 triliun. Disisi lain, yang baru didanai oleh perusahaan fintech baru sebesar Rp7 triliun saja. Itu artinya kue di industri ini masih besar sekali. Tidak heran jika banyak yang tertarik masuk ke industri ini. 

Kondisi itu sejalan dengan masih rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap layanan jasa keuangan, yakni baru sekitar 60%. Salah satu faktor yang menghambat peningkatan rasio pemanfaatan layanan jasa keuangan atau inklusi keuangan itu adalah jarak atau kondisi geografis.

Hal itu ternyata direspons positif oleh OJK. Terlihat dari berbagai aturan yang dikeluarkan OJK dalam rangka membangun industri ini dan memberikan ruang inovasi dari perusahaan startup. Disisi lain, aturan tersebut tidak melupakan perlindungan konsumen.

Kondisi itu berbeda dengan apa yang terjadi di China, pada beberapa waktu belakangan. Otoritas setempat cenderung tidak mendampingi industrik ketika tumbuh. Intervensi baru dilakukan ketika usaha sudah besar. Akibatnya otoritas terkait terlambat mendeteksi pelaku usaha peer-to-peer lending yang nakal. Hal itu kemudian menyebabkan kepercayaan masyarakat China terhadap industri ini berada pada level yang rendah.