sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Moratorium dicabut, pinjol 'kaleng-kaleng' siap-siap tergusur

Modal inti minimum fintech lending Rp25 miliar jadi poin paling penting.

Qonita Azzahra
Qonita Azzahra Senin, 09 Jan 2023 18:51 WIB
Moratorium dicabut, pinjol 'kaleng-kaleng' siap-siap tergusur

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mantap mempersiapkan pencabutan penundaan pemberian izin pendaftaran perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol). Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono bilang, proses pencabutan moratorium cukup rumit dan membutuhkan banyak persiapan. Sekarang pun, pihaknya sedang mematangkan regulasi hingga sistem informasi industri fintech.

“Sambil kami terus berkoordinasi dengan Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika),” katanya, kepada Alinea.id, usai acara Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) CEO’s Mind, di Jakarta, Senin (19/12/2022).

Sejalan dengan persiapan pencabutan moratorium tersebut, OJK juga bakal terus memasang matanya untuk melihat sudahkah penyelenggara fintech legal memenuhi ketentuan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). 

Pasalnya, menurut Ogi, masih banyak penyelenggara yang belum memenuhi ketentuan dalam POJK ini. Terutama yang terkait dengan pemenuhan modal inti minimal Rp25 miliar, yang harus dipenuhi paling lama tiga tahun setelah diteken pada 4 Juli 2022 lalu.

“Saat ini yang sudah mencapai (modal inti) di atas Rp12,5 miliar ada 58 penyelenggara,” bebernya, dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) Desember yang disaksikan secara daring, Senin (2/1).

Tidak hanya itu, hingga 30 November 2022, dari 102 penyelenggara fintech yang berizin, baru 36,27% atau 37 perusahaan saja yang telah berhasil mencatatkan laba. Sementara 63,73% atau sekitar 65 penyelenggara lainnya masih harus menanggung rugi.

“Adapun tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) yang di atas 5% ada 23 perusahaan,” imbuhnya.

Perlu diketahui, secara keseluruhan TWP90 industri fintech lending pada November 2022 tercatat sebesar 2,83%. Angka ini lebih rendah dari capaian di bulan sebelumnya yang masih sebesar 2,9%. Dengan lonjakan outstanding pinjaman hingga 72,7% menjadi Rp50,3 triliun, Ogi pun menilai perlunya perhatian khusus terhadap potensi kredit macet di tahun 2023.

Sponsored

“Kinerja beberapa sektor fintech lending juga berisiko mengalami penurunan,” ujar dia.

Ilustrasi Pixabay.com.

Sementara itu, dengan dicabutnya moratorium fintech ini diharapkan dapat memacu pertumbuhan industri fintech lending. Tidak hanya tumbuh tinggi, kebijakan ini juga dinilai bisa lebih menyehatkan sektor pembiayaan alternatif ini.

Pasalnya, ketika moratorium dibuka ditengarai bakal mengundang banyak pemain-pemain fintech lending baru untuk masuk ke dalam ekosistem industri. Namun, meski otoritas sudah tidak lagi menangguhkan pemberian izin fintech baru, bukan berarti calon penyelenggara yang akan masuk adalah penyelenggara fintech kaleng-kaleng.

Seleksi alam

Rencana OJK berencana membuka moratorium pun langsung disambut positif calon penyelenggara. Kepada Alinea.id, Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta membeberkan, sudah ada dua pemain dengan modal besar di atas Rp12,5 miliar yang siap masuk dan meramaikan industri pinjol. 

“Kalau moratorium kita buka tahun ini, jumlah (penyelenggara) pasti nambah dan dengan adanya seleksi alam, fintech yang tidak bisa bersaing pasti berguguran,” katanya belum lama ini.

Tidak ingin penyelenggara yang saat ini ada teranulir karena kalah saing, Tris pun berpesan agar perusahaan fintech lending bisa memperbaiki kinerja perusahaannya masing-masing. Salah satunya, dengan memenuhi modal inti minimum yang disyaratkan otoritas.

“Ini penting untuk melindungi investor dan juga konsumen. Dan lagi, modal inti juga penting bagi perusahaan fintech untuk melindungi dari risiko kredit macet,” tegasnya.

Terpisah, Ketua Hukum, Etika dan Perlindungan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Ivan Nikolas Tambunan menilai dengan melihat fokus OJK dalam menata pemain existing fintech lending selama setahun belakangan, lumrah saja jika otoritas berencana mencabut moratorium izin pendaftaran fintech tahun ini.

Hal ini didukung pula dengan penerbitan POJK 10 Tahun 2022 yang diterbitkan pada paruh kedua tahun lalu.
Di saat yang sama, industri fintech pun sudah tidak bisa lagi dibilang muda di usianya yang sudah lebih dari 5 tahun.

“Seluruh pemain existing sudah berizin semua, sedangkan sebagian pemain yang tidak mampu comply dengan standar aturan sudah dicabut atau mengembalikan tanda terdaftarnya. Kebijakan ini lumrah karena ditujukan untuk memastikan industri fintech lending sehat dan diisi pemain yang kredibel,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (9/1).

Kinerja fintech P2P lending Indonesia

Desember 2020

Desember 2021

November 2022

Outstanding Pembiayaan 

Rp15,32 triliun

Rp29,88 triliun

Rp50,30 triliun

Growth 

16,43% (year on year)

95,05 (yoy)

72,68 (yoy)

TWP 90 

4,78%

2,29%

2,83%

Sumber: OJK

Bahkan, Ivan yakin, dengan dibukanya moratorium juga dapat menekan jumlah pemain fintech lending yang memilih beroperasi secara ilegal. Namun, dengan dibukanya moratorium, Ivan sadar akan semakin banyak pemain-pemain baru yang masuk sebagai fintech legal. 

Artinya, persaingan pun akan semakin ketat. Dengan begitu, untuk bertahan dan berkembang, penyelenggara pun dituntut untuk dapat berinovasi dan meningkatkan pelayanan serta produknya. Meski begitu, untuk menciptakan industri yang lebih sehat pascamoratorium dicabut, pengawasan terhadap penyelenggara harus diperketat. Bahkan ketika para pemain baru akan masuk ke dalam ekosistem.

“Makanya, yang penting itu pemain baru yang masuk harus kredibel dan berkualitas. Jadi bukan sekadar menambah jumlah pemain di industri, tapi juga menambah kualitas, inovasi, dan lain-lain,” tutur CEO Akseleran itu.

Bukan hanya Ivan, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda juga menilai saat ini adalah waktu yang tepat bagi OJK untuk mencabut moratorium fintech. Mengingat sudah berlakunya POJK 10 Tahun 2022 sebagai regulasi industri fintech sekaligus juga merupakan pembaruan dari POJK 77 Tahun 2016 yang memang sudah usang.

Menurutnya dengan adanya moratorium justru membuat pemain fintech lending yang tidak bisa mendapatkan izin dari OJK, memilih untuk beraktivitas secara ilegal. Hal inilah yang kemudian membuat pinjol ilegal terus bermunculan.

“Bagaimanapun dengan adanya moratorium atau tidak, fintech ilegal akan tetap ada. Mereka akan lebih banyak ketika ada moratorium. Karena ketika mereka ingin menjadi legal, sulit,” katanya, kepada Alinea.id, Minggu (8/1).

Setidaknya, dengan dibukanya moratorium, Huda menilai, akan lebih mudah bagi pemerintah maupun otoritas untuk memilih mana yang legal atau ilegal.  Hal ini berlaku pula bagi masyarakat pengguna pinjol. Sebab, dengan kebijakan ini, seleksi akan dilakukan di awal, ketika pemain baru hendak masuk dan mendaftarkan izinnya ke OJK.

Dengan sistem ini pula, industri bisa jadi akan semakin sehat dan lebih kuat secara permodalan. Dus, industri fintech lending bisa lebih berkontribusi terhadap perekonomian nasional. 

“Karena di industri P2P ini sendiri yang akan ada seleksi alam. Dia yang tidak kuat dalam hal permodalan, dia yang tidak mampu bersaing kemungkinan akan tergerus,” ujarnya.

Ilustrasi Pixabay.com.

Namun, yang menjadi catatan Huda, dengan pencabutan moratorium ini, OJK diharapkan bisa memperketat pengawasannya terhadap industri fintech P2P lending. Apalagi, dengan adanya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), OJK diberi kewenangan lebih luas untuk mengawasi sektor jasa keuangan, termasuk industri jasa keuangan alternatif seperti fintech.

“Dengan UU PPSK ini OJK juga yang menjadi penyidik kalau terjadi tindak pidana keuangan, OJK harus berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan untuk mengatasi risiko di fintech ilegal,” imbuhnya.

Terlalu gemuk

Pendapat berbeda disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Menurutnya, tak tepat bagi OJK untuk membuka moratorium ketika struktur industri fintech masih terlalu gemuk.
Bukan hal tak mungkin kalau jumlah pemain fintech berizin akan semakin berlipat ganda. Dia khawatir, dengan jumlah fintech lending yang semakin banyak, akan menambah kesulitan OJK dalam melakukan pengawasan. 

“Dengan jumlah fintech 102 saja, masalah di industri ini masih sangat banyak, baik dari pinjol ilegal yang nggak selesai-selesai maupun dari yang terbaru, ada yang gagal bayar. Kalau tambah banyak, apakah tidak semakin sulit?” kata Bhima, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (7/1).

Jumlah pinjol ilegal yang dihentikan Satgas Waspada Investasi (SWI)

2018 404
2019 1.493
2020 1.026
2021 811
November 2022 618

Sumber: Satgas Waspada Investasi (SWI)

Jika moratorium dibuka, dia menilai, yang akan semakin banyak masuk adalah penyelenggara dari sektor konsumtif, lantaran banyak peminat dari sektor ini. Padahal, saat ini jumlah penyelenggara di sektor konsumtif sudah terlalu banyak, dengan risiko gagal bayar peminjam (borrower) lebih besar dari sektor produktif.

“Karena problemnya terlalu banyak fintech, pinjaman jadi tidak efektif, terutama untuk sektor produktif,” imbuhnya

Di saat yang sama, jumlah fintech yang kian banyak, menurutnya juga justru bakal membuat masyarakat semakin bingung. Apalagi, banyak perusahaan fintech yang memiliki nama berbeda dengan produk yang dirilisnya. Platform OVO misalkan, yang merupakan produk fintech lending dari PT Visionet Internasional atau GoPay yang merupakan layanan uang elektronik dari PT Dompet Anak Bangsa.

“Masyarakat akan kebingungan dan pada akhirnya mereka tidak bisa membedakan, mana yang legal dan mana pinjol yang ilegal,” kata dia.

Ilustrasi Pixabay.com.

Karenanya, alih-alih membuka moratorium, Bhima lebih menyarankan agar OJK dapat terlebih dulu melakukan konsolidasi pemain fintech dan menekan jumlah pemain fintech yang kini ada menjadi hanya 40-50 perusahaan saja. Dus, pengawasan pun akan lebih mudah dilakukan.

Konsolidasi bisa dilakukan dengan cara merger atau penggabungan dua perusahaan atau lebih. Selain untuk merampingkan struktur industri juga dinilai bisa memperkuat permodalan perusahaan. Dengan demikian, kualitas pembiayaan pun akan semakin berkualitas dengan risiko gagal bayar dapat lebih terjaga.

“Jangan sampai maraknya pendaftaran fintech baru nantinya akan menambah kredit macet. Karena pengawasannya kurang akibat terlalu banyak,” tegas Bhima.

Berkaca dari TaniHub

Berbeda dengan Bhima dan Huda, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menilai, tak penting apakah OJK akan membuka moratorium atau tidak. Saat ini, yang lebih penting untuk dilakukan otoritas adalah memperketat pengawasannya terhadap industri fintech P2P lending. Mengingat, masih banyaknya masalah dan hal-hal yang perlu dibenahi dari industri ini.

“Ini lebih penting, agar kasus TaniHub tidak terjadi lagi,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Senin (9/1).

Perlu diketahui, pada Desember lalu TaniHub Group harus berurusan dengan perkara hukum, setelah anak usahanya TaniFund mengalami gagal bayar sebesar Rp14 miliar. Atas indikasi ini, 128 investor yang telah menempatkan dananya pada platform P2P lending ini pun memohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (9/12/2022) lalu.

Ilustrasi Unsplash.com.

Piter juga menilai penyelenggara perlu lebih bertanggung jawab terhadap pinjaman yang disalurkannya kepada borrower. Pasalnya, selama ini Piter melihat kalau tanggung jawab penyelenggara sangat kurang. Sehingga sering kali penyaluran pinjaman hanya menjadi urusan investor atau lender saja.

“Karena selama ini juga lender lah yang memilih mana calon borrower yang akan diberi pendanaan. Jadi mereka sendiri lah yang harus bertanggung terhadap dana itu. Jadi, ketika ada gagal bayar, fintech lepas tangan begitu saja,” ujarnya.

Namun, jika memang OJK berniat membuka moratorium, Piter berpesan agar OJK bisa lebih memperketat persyaratan terhadap bakal calon penyelenggara yang masuk ke industri. Dengan begitu, penyelenggara eksisting pun sudah dapat terseleksi sejak awal.

Pada kesempatan lain, CEO Modalku Reynold Wijaya mengungkapkan, pihaknya tak masalah jika OJK berencana mencabut moratorium. Bahkan, pihaknya percaya diri bakal tetap bisa meningkatkan penyaluran pendanaan maupun meningkatkan jumlah pemberi dana di masa yang akan datang.

Pasalnya, Modalku sudah mempunyai posisi yang cukup kuat di industri fintech P2P lending. Hal ini terlihat dari pendanaan yang sebanyak Rp41 triliun dan disalurkan perusahaan kepada 5,1 juta UMKM di Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Di saat yang sama, perusahaan juga akan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk memperluas pendanaan kepada UMKM.

“Langkah ini diambil sebagai upaya untuk terus memajukan perekonomian Indonesia dan tentunya menjangkau lebih banyak segmen di Indonesia,” katanya dalam keterangannya, kepada Alinea.id, Senin (9/1).

Sementara itu, bagi pemberi dana, Modalku telah memberikan program serta beberapa promosi, sehingga para pemberi dana juga lebih percaya diri untuk mulai mendanai para pelaku UMKM. Di saat yang sama, perusahaan juga selalu menerapkan prinsip responsible lending dalam memberikan pendanaan.  Hal ini dilakukan dengan melakukan penilaian secara ketat terhadap UMKM yang ingin mengajukan modal usaha dan kemampuan finansial mereka untuk melunasi pendanaan.

Ilustrasi Alinea.id/Aisya Kurnia.

 

Berita Lainnya
×
tekid