Pembunuhan dalam bingkai sejarah dan hukum

Dahulu kala, pembunuhan menjadi pemantik lahirnya perlawanan kaum pribumi terhadap pihak penjajah yang bertindak sewenang-wenang.

Sejumlah pembunuhan sadis dengan bermacam motif ditemukan akhir-akhir ini di berbagai daerah, antara lain Lampung, Kalimantan, Sumatera, Jakarta, Kepulauan Riau, dan Maluku. Halaman media cetak maupun daring dipenuhi dengan berita orang-orang yang dihabisi secara kejam dan tragis. Menjamurnya kasus-kasus tersebut memancing atensi pemerintah dan empati publik.

Dalam taraf tertentu, sejarah Nusantara “digerakkan” oleh pembunuhan. Dahulu kala, pembunuhan menjadi pemantik lahirnya perlawanan kaum pribumi terhadap pihak penjajah yang bertindak sewenang-wenang.

Kolonialisme memperoleh perlawanan sengit setelah seorang sultan merasa sakit hati. Bagaimanapun, harga diri Sultan Babullah tercabik-cabik lantaran orang-orang Portugis membunuh sang ayah. Jejak kebenciannya terhadap pemerintah kolonial waktu itu cukup membekas pada Benteng Kastella yang berdiri kokoh di Desa Kastellan, Kota Ternate.

Bambang Budi Utomo (2016: 56) mencatat di benteng Portugis pertama yang dibangun oleh Antonio de Brito pada tahun 1521 inilah Sultan Khairun dihabisi pada 27 Februari 1570. Mengantongi perintah Gubernur Jendral Portugis Lopez de Mesquita, Antonio Primental nekat menumpas nyawa Sultan Khairun. Merespons tindakan gegabah tersebut, Sultan Babullah sebagai putra raja, akhirnya mengibarkan bendera perlawanan di hadapan Portugis.

Tiang kekuasaan