Puasa dan politik  

Ramadan tahun ini hadir pada babak akhir pelaksanaan Pemilihan Umum 2019.  

Semarak datangnya bulan Ramadan 1440 H terasa di seluruh penjuru dunia. Ramadan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam karena nilai spiritual puasa dan ibadah di dalamnya. Umat Islam biasa berlomba-lomba memperbanyak ibadah lantaran motivasi pahala yang dijanjikan berlipat ganda, disamping menjalankan kewajiban sebagaimana tertera dalam Q.S Al-Baqarah ayat 183.

Dinamika Ramadan tidak hanya menghidupkan suasana religius. Hampir seluruh sendi kehidupan turut tergerakkan dan mendapatkan manfaat, seperti ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. Ramadan tahun ini hadir pada babak akhir pelaksanaan Pemilihan Umum 2019.  

Kondisi ini berpotensi membawa perilaku kontradiktif. Di satu pihak, terdapat kelompok muslim yang memasuki Ramadan hanya mau fokus pada ibadah vertikal dan berpuasa. Mereka tidak mau terlalu jauh berdinamika duniawi, seperti terlibat atau memperbincangkan perpolitikan.  Di sisi lain, puasa berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Momentum Ramadan butuh penyikapan proporsional agar optimal dalam segala hal dan menunjukkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Teologi puasa

Puasa Ramadan adalah ibadah individual, di mana hanya Allah SWT dan si pelaku yang paling tahu. Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin, membagi puasa menjadi tiga tingkatan.