Rupiah di bawah naungan Perry Effect

Ucapan Gubernur BI soal langkah pre-emptive dan ahead the curve bukanlah pepesan kosong.

Bhima Yudhistira Adhinegara/dok. pribadi

*Peneliti INDEF

Nilai tukar rupiah sempat merosot tajam hingga menyentuh Rp 14.200 per dollar AS pada pertengahan Mei 2018. Memang pelemahan rupiah tidak sendirian, beberapa negara lain seperti Argentina, Turki, dan Brazil pun mengalami nasib yang sama. Bahkan Paul Krugman, ekonom peraih Nobel berkomentar singkat melihat kejatuhan kurs Lira Turki mengingatkan memori akan krisis 1997/1998 yang bermula dari hancurnya mata uang di Negara berkembang. Untungnya Krugman tak bicara spesifik soal pelemahan rupiah, mungkin berkat "Perry effect" atau terpilihnya Gubernur BI yang baru ternyata membawa angin segar bagi penguatan rupiah. 

Langkah taktis Perry Warjiyo menaikkan bunga acuan 25 bps pada rapat tambahan Bank Indonesia diakhir Mei lalu, membuktikan bahwa ucapan Gubernur BI soal langkah pre-emptive dan ahead the curve bukanlah pepesan kosong. Dua kata kunci itu diartikan sederhana sebagai antisipasi BI menaikkan bunga acuan sebelum Fed rate diperkirakan naik pada Juni mendatang. 

Fed rate atau bunga acuan bank sentral AS jadi kata kunci sepanjang tahun ini. Data-data ekonomi AS terus membaik, memaksa The Fed melakukan pengetatan moneter secara berkala. Misalnya data tenaga kerja AS yang belum lama dirilis mencatat tingkat pengangguran turun hingga 3,8% atau yang terendah sejak 18 tahun terakhir. Inflasi PE di AS pun bergerak mendekati 2%. Efek kebijakan reformasi perpajakan Trump sudah menuai hasil, investasi dan penyerapan tenaga kerja terus meningkat. 

Fed rate yang prediksinya akan naik hingga tiga kali tahun ini akan meningkatkan keuntungan berinvestasi di AS. Dengan kondisi itu, bukan tidak mungkin dana asing yang setelah krisis 2008 berhamburan di seluruh negara berkembang kembali ditarik pulang ke AS, alias capital reversal (pembalikan arah modal).