RUU Permusikan dan nasib dangdut koplo

Dangdut koplo adalah musik Indonesia paling mutakhir saat ini. Sejak awal kemunculannya, telah menuai beragam kontroversi.

Dengan atau tanpa peraturan resmi pemerintah (undang-undang) posisi pelaku seni musik selalu ada dalam posisi rentan. Sejarah menunjukkan bagaimana musik seringkali dibebani oleh hal-hal yang besar dalam konteks kehidupan berbangsa. 

Pada era Soekarno, musik diberi tanggung jawab untuk mengemban representasi dan identitas dan karakter bangsa. Pelarangan atas musik yang berbau barat kemudian memakan korban, yaitu grup musik Koes Plus untuk mendekam di bui.

Amanat ini tentu saja memiliki konsekuensi dalam perkembangan musik modern di Indonesia pada masa tersebut, banyak musik pop tradisional yang muncul sebagai bentuk kegagapan dalam menerjemahkan definisi musik yang berkarakter Indonesia. 

Era Orde baru tidak mau kalah. Soeharto banyak melarang. Pertimbangan pelarangan seringkali muncul dengan landasan yang saling bertentangan. Pernah suatu masa Soeharto membolehkan anasir musik barat sebagai antitesa dari kebijakan Soekarno, tapi kemudian dia ketakutan sendiri dan lalu kembali melarangnya.

Pelarangan yang muncul bercampur dari wacana identitas dan karakter bangsa, pilihan politik pelaku musik, hingga pembatasan kebebasan berekspresi sebagai wujud antikritik pemerintahan Soeharto. Bukan hanya lagu protes yang kena cekal, pilihan politik Rhoma pada masanya pun dianggap radikal, tidak luput lagu cinta pun kena sensor.