Salah kaprah pemidanaan penyalahguna narkoba

UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengamanatkan penyalahguna narkoba harus direhabilitasi, bukan dipenjara.

Penggerebekan diskotek MG Club. (foto: Istimewa)

HINGGA saat ini, mungkin masih banyak yang menyangsikan, 'mungkinkah dengan senjata rehabilitasi berhasil memenangi perang melawan narkotika?' Jawabannya, sangat mungkin! Kepastian jawaban ini tentu saja berangkat dari berbagai dasar ilmiah dan bukti sejarah.

Pertama, faktanya, senjata rehabilitasi itu merupakan satu-satunya cara untuk pulih dari penyakit ketergantungan narkotika. Kedua, penyalahguna narkotika yang menjalani proses hukum, ditempatkan di lembaga rehabilitasi sesuai tingkat pemeriksaannya. Sementara setiap hakim wajib memvonis dengan hukuman rehabilitasi karena itu adalah amanat konvensi, amanat undang-undang dan amanat umat manusia untuk hidup sehat yaitu jauh dari segala macam penyakit termasuk penyakit ketergantungan.

Ketiga, apabila penyalahguna sembuh, yang berarti tidak ada lagi penyalahguna, itu berati tidak akan ada demand atau permintaan. Maka secara otomatis pedagang narkotika ulung tikar karena tidak ada pembelinya.

Dari titik ini, senjata rehabilitasi membuktikan keampuhannya untuk memenangi perang melawan narkotika. Sebab rehabilitasi bukan sekadar memulihkan penyalahguna saja tapi juga dapat membuat bandar narkotika bangkrut selamanya.

Secara tekhnis, narkotika adalah obat, bahan dan zat bukan makanan yang jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan atau disuntik berpengaruh pada kerja otak. Sering kali juga menyebabkan penyakit ketergantungan. Jika kemudian seseorang sudah mengidap penyakit itu, mengakibatkan kerja otak berubah dan perubahan fungsi organ vital lain seperti jantung, peredaran darah, pernapasan, dan lain-lain.