Seragam: Masa lalu dan Orde Baru

Imajinasi seragam murid SD masa Orde Baru tampak di sampul buku terbitan Depdikbud.

Jutaan murid di Indonesia masuk sekolah sejak Senin, 15 Juli 2019. Mereka mengenakan seragam lama dan baru. Seragam menandakan mereka memiliki identitas sebagai murid. Seragam pun memberi gengsi dan penguatan misi berilmu. Seragam memiliki sejarah panjang, sebelum selalu dipikirkan sebagai bisnis atau tertib-rapi di sekolah. Seragam masih masalah saat kita mulai melupa seragam dalam biografi tokoh dan sejarah pendidikan di Indonesia masa lalu. Kita ingin mengenang seragam, sebelum mendapat berita mengenai bisnis seragam meraih untung besar di tahun ajaran baru. 

Pada suatu hari, si bocah yang bakal mengubah sejarah Indonesia diantar sang bapak, dari Kemusuk dan Wuryantoro. Peristiwa demi sekolah dan masa depan. Bocah bernama Soeharto dititipkan ke keluarga paman-bibi. Perkataan bapak dalam serah-terima: “Saya menyerahkan Soeharto kepadamu. Silakan asuh. Saya kuatir, kalau dia terus tinggal di Kemusuk, dia tidak akan menjadi orang. Saya sangat bersyukur jika anak ini memperoleh pendidikan dan bimbingan yang baik.”

Soeharto menurut segala kebijakan bapak. Ia sadar semua hal dikerjakan untuk bisa bersekolah dan mengubah nasib meski Indonesia masih bercerita negeri jajahan. 

Di sekolah, Soeharto senang semua pelajaran. Ia paling tangguh dalam pelajaran berhitung. Kepintaran itu dipuji teman dan guru. Puluhan tahun dari sekolah rendah, Soeharto terbukti mahir berhitung untuk kekuasaan dan sejarah “baru” di Indonesia. Soeharto mengenang juga memiliki kesungguhan dalam pelajaran agama.

Lulus dari sekolah rendah, Soeharto melanjutkan ke sekolah lanjutan rendah di Selogiri. Sejak bocah sampai remaja, Soeharto ada di ketegangan nasib untuk sekolah. Kita membaca nostalgia beliau: “Setelah menamatkan sekolah schakel Muhammadiyah sebenarnya saya masih ingin melanjutkannya. Tetapi, baik ayah saya maupun keluarga lainnya tidak ada yang sanggup membelanjai saya sekolah. Keadaan ekonomi keluarga kami rendah sekali. Saya masih ingat saja akan apa yang dikatakan ayah saya waktu itu: ‘Nak, tak lebih dari ini yang dapat kulakukan untuk melanjutkan sekolahmu. Dari sekarang kamu sebaiknya mencari pekerjaan saja. Dan kalau sudah dapat insya Allah, kamu dapat melanjutkan pelajaranmu dengan uangmu sendiri.’” (G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, 1989).