Tokoh muda dan politik (bukan) fantasi

Kaum muda teranggap memiliki janji-janji besar ketimbang kaum tua dengan pertambahan usia

Dok. Bandung Mawardi

Di arus sejarah politik Indonesia, kaum muda sering menjadi pemberi api atau membarakan ide dan imajinasi. Sejak awal abad XX, tokoh-tokoh muda tampil dengan bahasa “bergerak” dan “berubah” di latar tanah jajahan untuk membentuk Indonesia. Episode itu mengartikan tokoh di hitungan usia dan kemungkinan pembuktian dalam durasi lama. Kaum muda teranggap memiliki janji-janji besar ketimbang kaum tua dengan pertambahan usia atau “keredupan” di jalan nasionalisme.

Tokoh-tokoh masa lalu berusia ada di kisaran 20-40 tahun. Orang-orang mengingat Soetomo, Tirto Adhi Soerjo, Semaoen, Soekarno, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Wage Rudolf Soepratman, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain.

Pada masa revolusi, kaum muda semakin ambil peran mencipta sejarah. Di Sumatera, kita mengingat peran kaum muda berkaitan pilihan bersekolah dan mengajukan gagasan-gagasan politik modern. Mereka ada di jalan berkelok dalam ejawantah gagasan di situasi pelik: agama, adat, politik. Taufik Abdullah di buku berjudul Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatera Barat, 1927-1933 (2018) menjelaskan, kaum muda itu berani, kaum meladeni seribu risiko.

Di alur sejarah, tokoh itu penting di acuan dan pengertian atas pelbagai pengajuan ide-ide. Di Jawa, kaum muda pun berani dalam “memanggul” beban-beban sejarah bergerak ke pembentukan Indonesia. Ben Anderson (2018) menempatkan mereka sebagai tokoh meski sering “tertutupi” daftar tokoh (tua) gara-gara telah menempuhi jalan pergerakan sejak awal abad XX.

Secuil ingatan itu dimunculkan di ikhtiar mengartikan (lagi) tokoh muda. Ingatan berlaku atas lakon buruk para politikus muda keranjingan korupsi. Lakon terbaru bertokoh muda dengan predikat ketua umum partai politik dan anggota DPR. Ia turut jatuh setelah mendapat status tersangka di dugaan kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama.