sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Bandung Mawardi

Tokoh muda dan politik (bukan) fantasi

Bandung Mawardi Senin, 01 Apr 2019 12:18 WIB

Di arus sejarah politik Indonesia, kaum muda sering menjadi pemberi api atau membarakan ide dan imajinasi. Sejak awal abad XX, tokoh-tokoh muda tampil dengan bahasa “bergerak” dan “berubah” di latar tanah jajahan untuk membentuk Indonesia. Episode itu mengartikan tokoh di hitungan usia dan kemungkinan pembuktian dalam durasi lama. Kaum muda teranggap memiliki janji-janji besar ketimbang kaum tua dengan pertambahan usia atau “keredupan” di jalan nasionalisme.

Tokoh-tokoh masa lalu berusia ada di kisaran 20-40 tahun. Orang-orang mengingat Soetomo, Tirto Adhi Soerjo, Semaoen, Soekarno, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Wage Rudolf Soepratman, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain.

Pada masa revolusi, kaum muda semakin ambil peran mencipta sejarah. Di Sumatera, kita mengingat peran kaum muda berkaitan pilihan bersekolah dan mengajukan gagasan-gagasan politik modern. Mereka ada di jalan berkelok dalam ejawantah gagasan di situasi pelik: agama, adat, politik. Taufik Abdullah di buku berjudul Sekolah dan Politik: Pergerakan Kaum Muda di Sumatera Barat, 1927-1933 (2018) menjelaskan, kaum muda itu berani, kaum meladeni seribu risiko.

Di alur sejarah, tokoh itu penting di acuan dan pengertian atas pelbagai pengajuan ide-ide. Di Jawa, kaum muda pun berani dalam “memanggul” beban-beban sejarah bergerak ke pembentukan Indonesia. Ben Anderson (2018) menempatkan mereka sebagai tokoh meski sering “tertutupi” daftar tokoh (tua) gara-gara telah menempuhi jalan pergerakan sejak awal abad XX.

Secuil ingatan itu dimunculkan di ikhtiar mengartikan (lagi) tokoh muda. Ingatan berlaku atas lakon buruk para politikus muda keranjingan korupsi. Lakon terbaru bertokoh muda dengan predikat ketua umum partai politik dan anggota DPR. Ia turut jatuh setelah mendapat status tersangka di dugaan kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama.

Sekian bulan lalu, kita melihat foto tokoh muda itu di baliho dan poster tampak sering tertawa. Ia mengenakan busana rapi, tak lupa berpeci dan berkalung surban. Penangkapan oleh KPK mengubah cara penampilan dan makna tertawa. Pada usia 44 tahun, ia seperti menghendaki tamat duluan di politik.

Siapa tokoh dinantikan di tata politik Indonesia memiliki keberanian mengejawantahan ide-ide dan kebal dari godaan korupsi? Kita ingin mengerti dulu pemaknaan tokoh. Goenawan Mohamad (1994) mengingatkan: Tapi anak-anak muda yang paling resah hari ini mencari tokoh dari puing-puing, dari pelbagai macam puing. Indonesia, yang dalam sejarahnya yang keras cukup banyak menyaksikan penggusuran dan penghancuran, adalah sebuah lingkungan yang peka untuk impian semacam itu.

Kalimat-kalimat berlatar rezim Orde Baru dengan lakon politik melulu milik kaum tua. Di mata mereka, kaum muda diartikan pemberi suara saja atau kubu patuh atas perintah-perintah kaum tua.

Sponsored

Pada abad XXI, kita mendapatkan tokoh-tokoh berusia muda turut di laju politik. Mereka berada di posisi-posisi kunci, sebelum berjatuhan gara-gara korupsi. Sekian partai politik mengabarkan ke publik memiliki gairah muda. Pimpinan-pimpinan partai politik itu kaum muda, dijanjikan sanggup memajukan Indonesia.

Mereka mengaku berbeda dari kaum tua telah terpapar atau sempat mengalami indoktrinasi dari rezim-rezim kekuasaan terdahulu. Urusan politik diutamakan di selisih usia dan pembesaran gagasan. Cara perbandingan itu “menutupi” kecenderungan sama di godaan berkorupsi.

Kita mundur lagi mengingat posisi kaum muda dan hajatan demokrasi, sebelum kemenangan politik memungkinkan orang-orang mencari jalan-jalan menuju pesta korupsi. Kini, para politikus sedang ribut merebutkan suara kaum muda. Mereka tak menginginkan kaum muda di kubu golput.

Kaum muda dianjurkan masuk ke gerbong-gerbong memberi suara. Mereka jangan pesimistis dan membiarkan hajatan demokrasi berlalu tanpa tusukan paku di kertas suara. Pada saat bujukan dan perebutan suara kaum muda berlangsung seru, kita membuka kliping masa 1980-an.

Tempo edisi 2 Agustus 1986 berjudul besar "Pemilih Muda Mencoblos Apa?kaum muda disampaikan masih di predikat pemilih, bukan dipilih. Dulu, rezim Orde Baru memang belum berpihak ke kaum muda di daftar dipilih. Soeharto mencukupkan peran jutaan orang berusia muda adalah pemilih: mengesahkan demokrasi digarap dengan tipu-muslihat oleh penguasa.

Pada masa 1980-an, Tempo melaporkan: “Politik tidak menarik bagi kebanyakan orang muda.” Kita menduga kaum muda dipasifkan oleh penguasa atau kaum muda sudah jenuh dan “mengerti” ada muslihat demokrasi. Kaum muda emoh berurusan politik dianggap Selo Soemardjan sebagai “gejala kurang baik.”

Di tatapan mata politik, kaum muda mungkin sudah sadar sulit menembus dan masuk di kancah politik bermutu. Mereka ditaruh di posisi rendah atau pemberi tepuk tangan saja.

Pada 2019, situasi politik terlalu berbeda dengan masa 1980-an. Kaum muda pun berhak beralih dari kaum penonton bertepuk tangan menjadi tokoh-tokoh di laju politik. Mereka bermunculan menjadi tokoh politik. Kaum muda berada di lokomotif, tak melulu di gerbong.

Pembentukan diri mencapai di derajat ketokohan tak sesulit seperti di masa Orde Baru. Kemauan turut mengubah dan memuliakan Indonesia dituruti di jalan (cenderung) lempang di organisasi atau partai politik. Di luar politik, ketokohan semakin menguat dalam bisnis dan industri hiburan. Kaum muda di tema membesar. Tema mudah gembos jika ada serbuan fitnah, benci, dan bohong.

Sekian tahun, tokoh-tokoh muda berpolitik jatuh dan menodai demokrasi dengan korupsi. Situasi memburuk saat kita mengalami bosan pada kaum tua selalu saja “memiliki” dan penentu nasib partai politik lama atau baru. Peruntungan kaum muda di lokomotif demokrasi itu ada meski ulah buruk selalu saja mengumbar pesimisme. Dulu, Goenawan Mohamad sempat di bisik keraguan: “Tetapi, tidakkah sebenarnya hasrat mencari seorang tokoh untuk dikagumi siang dan malam itu termasuk bagian hasrat mencari kisah fantasi?”

Politik berfantasi itu pernah berlaku di Indonesia. Kini, kita melihat kaum muda di politik pun sedang minta dikagumi melalui foto, omongan, busana, logo, dan bendera. Kagum lekas sirna gara-gara sekian tokoh terlalu minta dikagumi malah memilih distempeli koruptor. Begitu.

Berita Lainnya
×
tekid