Ujaran kebencian dan pentingnya kampanye dialogis pilpres

Fenomena itu sangat terasa khususnya di media sosial

Publik mulai dihadapkan pemilihan umum presiden 2019 dengan beragam fenomena yang semakin menghangat, ketika dua pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum pada Agustus 2018 lalu. 

Mengacu pengalaman pemilihan umum presiden sebelumnya, majunya dua pasang calon itu diikuti aura dukungan publik dengan wacana beda pendapat pertentangan ide secara terbuka dari berbagai kelompok terhadap calon yang akan berkompetisi.

Fenomena itu sangat terasa khususnya di media sosial, dengan kata lain munculnya calon tak hanya menjadi perbincangan politisi atau tim suksesnya, tapi juga masyarakat luas sebagai pemilik suara yang hendak di menentukan pilihannya di hari pemilihan. 

Partisipasi masyarakat mewacanakan sikap pilihan dan dukungan politik di media sosial seperti itu tentu memberikan warna tersendiri dalam dinamika demokrasi yang didukung oleh perkembangan tekhnologi informasi berbasis internet. Beragam aplikasi media sosial  yang memudahkan publik menyampaikan pendapat  secara terbuka sesuai dengan kepentingan dan dukungan di dunia maya menjadi penting tak hanya untuk mengukur tingkat popularitas dan prediksi dukungan.

Jutaan status publik dengan perbedaan dukungan yang dibumbui beragam pendapat dan kebebasan berekpresi di media sosial seperti facebook, twiter, whatshap dan beragam apilkasi media sosial lain memunculkan informasi palsu atau hoax yang mengarah pada ujaran kebencian dan fitnah.