UU PNPS masih diperlukan untuk kehidupan beragama

Sebelumnya, MK pernah menolak gugatan UU PNPS pada 2009 silam. Namun, UU tersebut kini kembali digugat.

Erfandi, Sekretaris Komisi dan Perundang-Undangan MUI / dok pribadi

Mahmakah Konstitusi (MK), pernah mengeluarkan putusan bernomor 140/PUU-VII/2009 yang isinya menolak gugatan terkait UU Nomor 1/PNPS/19565 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun, kali ini, Ahmadiyah kembali menggugat UU tersebut lantaran dianggap melanggar ketentuan Pasal 28 UUD 1945.

Berkaitan dengan pokok perkara yang diajukan oleh Ahmadiyah itu, dapat kita lihat dari berbagai perspektif untuk menilai apakah UU PNPS bertentangan dengan UUD 1945 atau justru konstitusional. Pertama, dilihat dari tinjauan filosofis, eksistensi hukum harus dipandang secara holistik dan integratif sebagai satu kesatuan dari sumber hukum yaitu Pancasila yang diakui sebagai Staat Fundamental Norm dalam sistem dan sumber hukum. Kami melihat Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus menjadi falsafah bernegara harus tetap menjadi rujukan dalam penegakan hukum di Indonesia termasuk dalam hal uji materi peraturan ini.

Nilai-nilai ketuhanan (nilai agama) yang termaktub jelas dalam sila ke 1 Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi spirit dan dipertahankan substansi nilainya dalam produk perundang-undangan termasuk dalam hal putusan judicial review UU nomor 1/PNPS/1965. Hal ini perlu dilakukan dalam setiap putusan uji materi agar Indonesia sampai pada posisi Negara yang konstitusional. Maksudnya hidup bersama dalam suatu negara dengan menempatkan nilai-nilai dan norma-norma yang telah disepakati bersama sebagai sumber rujukan tertinggi sekaligus sebagai cita-cita luhur yang ideal untuk kemajuan peradaban bangsa yang bersatu, merdeka, adil dan makmur dalam ridlo Tuhan Yang Maha Esa. Seperti yang dinyatakan oleh Prof Jimli Asshiddiqie dalam pengantar buku “Konstitusi Bernegara”.

Pandangan seperti ini sudah selaras dengan Putusan MK nomor 140/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa Pancasila telah menjadi dasar negara, yang harus diterima oleh seluruh warga negara. Pancasila mengandung lima sila yang saling berkait satu sama lain sebagai suatu kesatuan. Oleh sebab itu setiap warga Negara baik sebagai individu maupun sebagai bangsa secara kolektif harus dapat menerima Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjiwai sila-sila lain baik Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maupun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;(vide: Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 alinei [3.34.1] hlm. 271-272.

Selain itu, Lahirnya UU nomor 1/PNPS/1965 selain memiliki landasan filosofis sebagaimana termaktub dalam Pancasila yang disebut diatas, pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang diakui Indonesia juga berdasarkan atas Konstitusi Negara Republik Indonesia. Konstitusi yang secara sederhana diartikan sebagai “a document which contains the rules for the operation of an organization…” juga mengatur keberadaan agama sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 sebagai berikut: Pembukaan alinea ketiga yang menyatakan “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa…”