Pakar soroti plus-minus antara pers jadul versus pers digital

Banyak media di Indonesia yang malah memberitakan media sosial (medsos).

Ilustrasi koran. Foto Pixabay

Kekurangan dan kelebihan antara pers jadul (jaman dulu) dengan pers digital disoroti oleh tiga pakar media. Dahulu di zaman media cetak terdepan, orang-orang mengikuti eranya koran seperti apa adanya. Begitu memasuki era digital, tentu saja timbul perbedaan yang baru sama sekali. Pandangan itu diutarakan CEO Times Indonesia Khoirul Anwar dalam dialog Jurnal9 dari TV9 News, yang dipandu Nita Liana, Sabtu (5/2/2022).

"Sebentar lagi eranya metaverse, itu seperti apa lagi? Semuanya akan mengikuti. Memasuki dunia digital juga ada perubahan. Kalau sekarang mungkin era web2 sudah mulai minggir, kita akan menjelang web3. Saya kira, perusahaan-perusahaan media di Indonesia sudah mulai ancang-ancang, termasuk kami juga mulai ancang-ancang di web3. Apa itu? Generasi meta. Ini yang akan kita adopsi untuk konsumsi jurnalisme anak-anak generasi meta," sambungnya.

Menurut Anwar, perubahan-perubahan itulah yang mungkin akan menjadi patron baru. Tapi pada prinsipnya jurnalismenya tetap sama, tidak ada yang berubah. Kalaupun berita tetap disajikan dengan 5W1H, indepth news, dan sebagainya. Hanya sekarang polanya juga yang mesti berubah.

Dipaparkan, riset WAN-IFRA membuktikan bahwa dunia pers sudah terombang-ambing oleh media sosial. Banyak media di Indonesia yang malah memberitakan media sosial (medsos). Isu-isu di medsos kemudian diberitakan di media mainstream. Berarti di situ ada pengaruh dari digital media yang sangat luar biasa. Dari medsos masuk ke dunia media mainstream, dalam bisnis media.

"Karena itu, namanya jurnalistik seharusnya jangan begitu. Itu media mainstream ikut-ikutan menjadi recehan. Karena itu, pola ini harus diubah," tegas Anwar.