Agar kuli tinta tak semena-mena di-PHK

PHK dan penyunatan gaji jurnalis bukan respons tepat atas kompetisi media daring. Media justru harus dituntut untuk kreatif mengolah konten.

Ilustrasi media massa./ Pixabay

Perubahan lanskap industri media dari cetak ke daring tak ayal membuat sejumlah media gagap. Apalagi di tengah lautan informasi yang sudah padat, media daring pun harus jungkir balik memperpanjang napas dengan beragam cara. Beberapa media merespons perubahan itu dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau penyunatan gaji para jurnalisnya.

Medio Februari lalu, harian Bernas di Yogyakarta tutup dan beralih total ke format daring. Langkah itu diikuti dengan PHK 28 orang karyawan mereka. Dengan dalih efisiensi pula, Gresnews.com juga merumahkan tiga jurnalisnya, dua di antaranya adalah karyawan tetap dan tak dibekali pesangon.

Dalam perkara Bernas, media itu memang sudah menunjukkan sinyalemen akan fokus di media daring sejak lama. Itu tampak dari pengurangan karyawan secara bertahap yang dilakukan sebelumnya. Para jurnalis Bernas umumnya mafhum dan tak menuntut lebih hak mereka pada perusahaan. Sementara untuk kasus Gresnews.com yang sudah dilakukan sejak 10 April 2017 tersebut, jurnalis yang di-PHK menolak diam. Mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui bantuan LBH Pers.

Gugatan ke pengadilan ditempuh karena setelah tiga kali diundang, perusahaan tetap absen, kendati sempat menyanggupi akan datang bipartit. Pada Juli 2017, LBH Pers mencatatkan perselisihan ini kepada Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan. Mediator Disnaker Jakarta Selatan mengeluarkan anjuran pada perusahaan untuk membayarkan pesangon para pekerja, sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan.

Setelah disidangkan selama tiga bulan, majelis hakim yang diketuai Taryan Setiawan membacakan putusan dengan mengabulkan gugatan para Penggugat sebagian. Gresnews.com dalam putusan hakim, harus membayar pesangon berupa uang penghargaan dan uang penggantian hak sebesar dua kali lipat, dari ketentuan UU Ketenagakerjaan.