sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Agar kuli tinta tak semena-mena di-PHK

PHK dan penyunatan gaji jurnalis bukan respons tepat atas kompetisi media daring. Media justru harus dituntut untuk kreatif mengolah konten.

Ayu mumpuni
Ayu mumpuni Rabu, 25 Apr 2018 12:29 WIB
Agar kuli tinta tak semena-mena di-PHK

Perubahan lanskap industri media dari cetak ke daring tak ayal membuat sejumlah media gagap. Apalagi di tengah lautan informasi yang sudah padat, media daring pun harus jungkir balik memperpanjang napas dengan beragam cara. Beberapa media merespons perubahan itu dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau penyunatan gaji para jurnalisnya.

Medio Februari lalu, harian Bernas di Yogyakarta tutup dan beralih total ke format daring. Langkah itu diikuti dengan PHK 28 orang karyawan mereka. Dengan dalih efisiensi pula, Gresnews.com juga merumahkan tiga jurnalisnya, dua di antaranya adalah karyawan tetap dan tak dibekali pesangon.

Dalam perkara Bernas, media itu memang sudah menunjukkan sinyalemen akan fokus di media daring sejak lama. Itu tampak dari pengurangan karyawan secara bertahap yang dilakukan sebelumnya. Para jurnalis Bernas umumnya mafhum dan tak menuntut lebih hak mereka pada perusahaan. Sementara untuk kasus Gresnews.com yang sudah dilakukan sejak 10 April 2017 tersebut, jurnalis yang di-PHK menolak diam. Mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui bantuan LBH Pers.

Gugatan ke pengadilan ditempuh karena setelah tiga kali diundang, perusahaan tetap absen, kendati sempat menyanggupi akan datang bipartit. Pada Juli 2017, LBH Pers mencatatkan perselisihan ini kepada Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan. Mediator Disnaker Jakarta Selatan mengeluarkan anjuran pada perusahaan untuk membayarkan pesangon para pekerja, sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan.

Setelah disidangkan selama tiga bulan, majelis hakim yang diketuai Taryan Setiawan membacakan putusan dengan mengabulkan gugatan para Penggugat sebagian. Gresnews.com dalam putusan hakim, harus membayar pesangon berupa uang penghargaan dan uang penggantian hak sebesar dua kali lipat, dari ketentuan UU Ketenagakerjaan.

Dalam rilis LBH Pers kemarin Selasa (24/4) dijelaskan, PHK tiga jurnalis belum mendapat persetujuan dari para pihak, oleh karenanya dinyatakan sebagai PHK sepihak. Dalih efisiensi yang digaungkan perusahaan itu juga belum bisa dibuktikan dengan laporan keuangan yang merugi selama dua tahun terakhir, dengan audit akuntan publik. Kemudian terkait alasan pelanggaran norma kerja, perusahaan dinilai pengadilan tak mematuhi mekanisme Surat Peringatan (SP) sesuai ketentuan.

"Aji Prasetyo= 46 juta, Edy Susanto= 59,8 juta, Armad= 7,3 juta," jelas pengacara LBH Pers Gading YD, mengenai total pesangon yang harus dibayar pihak tergugat.

Menurutnya, belum ada komunikasi dari pihak tergugat untuk membayarkan pesangon tersebut. Bahkan sejak awal persidangan hanya pengacara dari pihak tergugat yang mengikuti jalannya persidangan.

Sponsored

"Yang datang kuasa hukumnya terus sejak awal, mediasi sampai di persidangan," kata Gading saat dihubungi tim Alinea.

Gading pun meminta kepada pihak perusahaan untuk tidak memperlarut masalah dengan mengajukan banding atau kasasi, meskipun perusahan memiliki hak untuk mengajukannya. Ia menambahkan, putusan hakim yang menolak dalil pihak tergugat, sudah cukup memperjelas harus dibayarkannya pesangon tiga pekerja.

Jangan PHK, tapi strategi konten

Menghadapi riuhnya media daring dewasa ini, Wisnu Prasetya mantan peneliti Remotivi pernah menyitir laporan terbaru yang dirilis tujuh jurnalis New York Times bertajuk “Journalism That Stands Apart”. Laporan ini terdiri dari tiga bagian yaitu pengembangan strategi jurnalisme, staf, dan manajemen kerja di New York Times.

“Dalam hal pengembangan jurnalistiknya, ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan. Di antaranya, laporan-laporan jurnalistik New York Times ke depan harus semakin banyak ilustrasi visual. Selama ini banyak laporan yang hanya berbasis teks panjang,” tulis Wisnu di portal Remotivi.

Terlalu dominannya teks ini, imbuhnya, beberapa kali diprotes oleh pembaca New York Times.Tahun 2016 misalnya, ketika New York Times melansir laporan soal perdebatan jalur kereta bawah tanah di New York, banyak pembaca mengkritik melalui kolom komentar kenapa tidak ada peta sederhana jalur kereta. Padahal itu hal yang penting bagi pembaca untuk memahami masalah.

Berangkat dari situ, New York Times akhirnya mulai mengembangkan laporan jurnalistik dalam berbagai platform secara cepat baik melalui news letter, suara, video, dan platform lain.

Strategi lain, pembaca harus dilibatkan dalam karya jurnalistik tersebut lewat kolom komentar yang muncul di bawah berita mereka. New York Times bahkan memasukkan komentar para pembaca dalam rubrik khusus “Our Comment of The Week”, untuk mendulang animo publik.

Salah satu bagian penting yang disitir Wisnu adalah kesadaran media meredefinisi standar kesuksesan. Saat media masa kini latah menjadikan page views sebagai standar kesuksesan, New York Times menolak ukuran itu.

Di Indonesia ini menjadi relevan, saat media bahkan kerap mengorbankan mutu jurnalistik demi mengejar klik. Judul-judul clickbait, flash news yang dibuat tanpa verifikasi lebih lanjut menjadi jembatan untuk mengejar keterbacaan.

Sementara bagi peraih penghargaan Pulitzer itu, penjagaan mutu jurnalistik adalah harga mati. Kendati media itu tiap harinya menerbitkan rerata 200 artikel, kualitas konten tetap dikawal. Mereka juga menerapkan apa yang disebut dengan jurnalisme data, dengan memanfaatkan konten mendalam berbasis data untuk ditawarkan pada pembaca.

Dengan redefinsi kesuksesan dan langkah konkret ini saja, New York Times tetap berhasil mendapatkan pembaca. Sebagai gambaran, pada 2016 New York Times berhasil mendapatkan keuntungan US$500 juta dari pendapatan digital, jumlah yang jauh lebih besar dibanding pendapatan Buzzfeed, Guardian, dan Washington Post digabung. Saat ini, New York Times memiliki 1,5 juta pelanggan edisi digitalnya, dan lebih dari 1 juta pelanggan edisi cetak.

Jadi PHK jurnalis bukanlah solusi. Justru itu bisa menimbulkan disrupsi yang berkepanjangan. Media harus kembali menjadikan manusia sebagai aset penting demi meningkatkan mutu dan mengatasi persaingan di tengah kompetisi yang riuh ini.

Berita Lainnya
×
tekid