Belantara pers, dari jurnalis bohongan sampai nama media mirip lembaga negara

Kemajuan teknologi menjadikan semua seperti lebih simpel, dan kebetulan jumlah jurnalis juga makin banyak

Ilustrasi jurnalis. Foto Pixabay

Kehidupan pers, media, dan jurnalis di Indonesia secara umum diketahui persis sebagaimana mudahnya ditemukan oknum yang mengaku sebagai jurnalis hadir di berbagai tempat. Biasanya bersama rombongan, melengkapi diri dengan tanda pengenal sesuai dengan kebutuhan. Mereka bisa dikatakan jurnalis serba bisa, jurnalis yang suka hadir di mana-mana. Kalau dilihat lagi, itu bukan pemandangan yang aneh sekarang. Hanya selama pandemi Covid-19, kerumunan mereka agak berkurang.

Kemajuan teknologi menjadikan semua seperti lebih simpel, dan kebetulan jumlah jurnalis juga makin banyak. Itu kelihatan sesuatu yang sudah biasa saja. Etika pers berkaitan dengan perkembangan teknologi serta jurnalisme profesional seperti itu lebih lanjut diuraikan oleh anggota Dewan Pers Jamalul Insan.

"Kenyataan hari ini kita berada di antara 'belantara' media dan jurnalis. Karena begitu riuh dan ramainya dunia media dan yang mengaku-ngaku jurnalis di Indonesia. Walaupun kegiatannya tidak berkerumun lagi, tetapi aktivitasnya tetap saja. Kita berada di belantara yang sangat ramai di dunia pers," katanya.

Jamalul memberi contoh dalam Workshop Etik dan Profesionalisme Jurnalis dengan tema 'Profesionalisme Jurnalis Di Tengah Kemajuan Teknologi' kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan Kedutaan Besar Australia yang digelarkan pada Jumat (25/2).

Contohnya, banyak media menggunakan nama-nama unik, bahkan yang mirip lembaga negara, seperti Koran Tipikor dan KPK Pos. Ketika sumber berita didatangi mereka, pasti langsung takut duluan, karena salah menyangka bahwa polisi atau penyidik KPK yang bertandang. Meskipun sudah ada larangan untuk memakai nama lembaga negara, tapi tetap saja muncul nama media seperti itu, walaupun tidak tercatat di Dewan Pers.