Bercakap dengan Janet Steele, perlu banyak media independen

Ide yang sangat buruk untuk memberikan kekuatan pemerintah agar mereka mengatur media.

Janet Steele. foto Twitter

Janet Steele sering berkunjung ke Asia Tenggara di mana dia memberi kuliah tentang beragam topik mulai dari peran pers dalam masyarakat demokratis hingga kursus khusus tentang jurnalisme naratif. Bukunya, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia, berfokus pada majalah Tempo dan hubungannya dengan politik dan budaya Indonesia Orde Baru.

Dianugerahi hibah pengajaran dan penelitian Fulbright, dia pernah menjabat sebagai pembicara-spesialis Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di Indonesia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Brunei, Filipina, Timor Leste, Taiwan, Burma, Sudan, Mesir, India, dan Bangladesh. Penulis berbagai artikel tentang teori dan praktik jurnalisme, bukunya tahun 2014, Email Dari Amerika (Email from Amerika), berupa kumpulan kolom surat kabar yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan aslinya diterbitkan di surat kabar Surya. Buku terbarunya bertajuk Mediating Islam, Cosmopolitan Journalisms in Muslim Southeast Asia.

Steele, profesor jurnalisme di George Washington University dan direktur Institute for Public Diplomacy and Global Communication. Dia menerima gelar Ph.D. dalam ilmu sejarah dari Johns Hopkins University dan berfokus pada bagaimana budaya dikomunikasikan melalui media massa.

Itulah biografi singkatnya, seperti dikutip dari laman School of Media & Public Affairs, Columbian College of Arts & Sciences, yang mengantar terang siapa gerangan sosok ini.

Sepulangnya jalan-jalan keluar dengan anjingnya di ibu kota Paman Sam, Janet kembali masuk rumah dan Alinea.id diundangnya ke ruang Zoom yang dia buka khusus hanya untuk berdua, Jumat (2/7). Inilah percakapan kami: