sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bercakap dengan Janet Steele, perlu banyak media independen

Ide yang sangat buruk untuk memberikan kekuatan pemerintah agar mereka mengatur media.

Arpan Rachman
Arpan Rachman Senin, 05 Jul 2021 13:45 WIB
Bercakap dengan Janet Steele, perlu banyak media independen

Janet Steele sering berkunjung ke Asia Tenggara di mana dia memberi kuliah tentang beragam topik mulai dari peran pers dalam masyarakat demokratis hingga kursus khusus tentang jurnalisme naratif. Bukunya, Wars Within: The Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia, berfokus pada majalah Tempo dan hubungannya dengan politik dan budaya Indonesia Orde Baru.

Dianugerahi hibah pengajaran dan penelitian Fulbright, dia pernah menjabat sebagai pembicara-spesialis Departemen Luar Negeri Amerika Serikat di Indonesia, Malaysia, Vietnam, Kamboja, Brunei, Filipina, Timor Leste, Taiwan, Burma, Sudan, Mesir, India, dan Bangladesh. Penulis berbagai artikel tentang teori dan praktik jurnalisme, bukunya tahun 2014, Email Dari Amerika (Email from Amerika), berupa kumpulan kolom surat kabar yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan aslinya diterbitkan di surat kabar Surya. Buku terbarunya bertajuk Mediating Islam, Cosmopolitan Journalisms in Muslim Southeast Asia.

Steele, profesor jurnalisme di George Washington University dan direktur Institute for Public Diplomacy and Global Communication. Dia menerima gelar Ph.D. dalam ilmu sejarah dari Johns Hopkins University dan berfokus pada bagaimana budaya dikomunikasikan melalui media massa.

Itulah biografi singkatnya, seperti dikutip dari laman School of Media & Public Affairs, Columbian College of Arts & Sciences, yang mengantar terang siapa gerangan sosok ini.

Sepulangnya jalan-jalan keluar dengan anjingnya di ibu kota Paman Sam, Janet kembali masuk rumah dan Alinea.id diundangnya ke ruang Zoom yang dia buka khusus hanya untuk berdua, Jumat (2/7). Inilah percakapan kami:

Alinea.id:
Riset Anda di Reuters Institute menunjukkan bahwa tekanan ekonomi akibat virus Corona, kekhawatiran tentang berita palsu, dan ancaman berbagai ketentuan hukum terkait pencemaran nama baik sangat menantang bagi bisnis media. Bagaimana atau dengan cara apa idealnya bisnis media di Indonesia dapat mengatasi tantangan ini?

Janet Steele (JS):
Saya tidak tahu juga. Kalau tahu tentu saya sudah kaya...

Tekanan itu terjadi di mana-mana, dan saya pikir yang baru saja terjadi di dunia ini berdampak pula di Indonesia. Saya pikir, pandemi Coronavirus mungkin yang terburuk.
Orang-orang di Indonesia dulu masih membaca media cetak, membaca koran, bahwa -- Anda tahu -- di sela kemacetan lalu lintas orang dapat melakukan hal itu.

Sponsored

Tetapi orang-orang seusia Anda tidak berlangganan koran, bukan lagi membaca media cetak, jadi bisnis media benar-benar harus latihan strategi. Sulit untuk mengetahui bagaimana mengatasi tantangan ini. Orang-orang sudah jarang membaca berita surat kabar yang merupakan hal lain dari beberapa temuan, gambarannya 20 persen di Indonesia seperti tampak dari survei. Bisnis media kini memiliki masalah yang sama di mana pun di dunia ini.

***

Alinea.id telah membaca Digital News Report 2021, edisi ke-10, dari Reuters Institute di halaman 137. Dalam kausa "Perubahan Media" diuraikan bahwa media online dan sosial tetap menjadi sumber berita paling populer di Indonesia dengan sampel yang lebih urban, tetapi TV dan radio tetap penting bagi jutaan orang yang tidak ada akses online. Mayoritas akses berita internet melalui ponsel (85 persen) dengan komputer kurang populer. Sumber berita televisi 58 persen, online (termasuk media sosial) 89 persen, cetak 20 persen, media sosial 64 persen.

***

Diselingi jeda sebentar. Percakapan dengan Janet berlanjut:

Alinea.id:
Perusahaan media yang kuat yang dimiliki oleh para taipan telah menggantikan negara sebagai sumber utama penyensoran. Delapan entitas komersial besar mendominasi lanskap media Indonesia sekarang. Apakah perusahaan media kuat milik delapan taipan menunjukkan bahwa lanskap media Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan?

JS:
Anda tahu rekan-rekan dari Indonesia dan banyak teman Indonesia sangat mengkhawatirkan hal ini. Jelas sama bagi saya bahwa delapan mogul ini cukup kuat, dan orang-orang tahu siapa di balik apa. Untuk Anda ingat saja dalam pemilu lalu, semua orang paham mengenai media apa yang mendukung siapa. Menurut saya, orang Indonesia sangat terbebani dengan hal ini. Karena itu, hal ini tidak akan tercapai bila di lain pihak cukup banyak media independen yang bersaing sangat keras dalam sistem kapitalisme. Itulah yang terjadi.

Tetapi di AS kami mempunyai problem serupa. Ada tokoh-tokoh bisnis yang sangat sukses di perusahaan media. Jadi, memiliki delapan pengusaha media besar di antaranya bisa saja sangat membantu. Saya tidak khawatir tentang itu, tetapi asal kepemilikannya transparan.

Alinea.id:
Apakah dominasi delapan entitas komersial besar itu mempengaruhi kebebasan pers secara umum?

JS:
Tentu perlu rambu pengaman, perhatian terbesar dari pekerjaan media adalah mengontrol pemerintah. Jika Anda melihat pada delapan entitas bisnis itu, mereka dimiliki oleh para tokoh yang berbeda dengan minat yang berbeda. Mereka saling menyeimbangkan. 

Alternatif itu adalah sistem peraturan pemerintah yang hanya memiliki satu cara. Jadi saya tidak melihat mereka ancaman terbesar bagi media independen. Ancaman terbesar bagi media independen adalah pemerintah bukan bisnis. Sistemnya sudah sangat baik. Di sana mungkin ada celah yang tidak baik, tetapi kontrol pemerintah merupakan yang terburuk.

Alinea.id:
Apakah berarti kontrol pemerintah lemah untuk mengendalikan pemilik media?

JS:
Saya tidak berpikir pemerintah harus mengendalikan kepemilikan media. Tetapi saya katakan jika Anda berpikir bahwa kekuatan pemerintah harus mengatur kepemilikan media, itu adalah kekuasaan yang mahabesar. Kekuasaan pemerintah yang sama itu bisa juga korupsi. Maksud saya, pemerintah tidak boleh mengatur media hingga terkunci. Bahwa sistem pasar bebas, menurut saya, lebih baik.

Jadi saya sebenarnya tidak suka regulasi yang ketat soal perusahaan media. Saya pikir aturan yang sederhana justru lebih baik. Di bawah Soeharto, banyak regulasi perusahaan media, tetapi sekarang media sudah independen.

Menurut saya media sah saja menyajikan kepentingan politik yang kita tahu kepentingan itu apa. Dan selalu ada kepentingan yang bersaing. Itu hanya pendapat saya.

Saya hanya berpikir adalah ide yang sangat buruk untuk memberikan kekuatan pemerintah agar mereka mengatur media. Tidak ada alasan untuk melakukan itu.

Alinea.id:
Pihak berwenang masih membawa tuduhan pencemaran nama baik dalam praktik pers ke pengadilan. Apakah ini menunjukkan bahwa Dewan Pers, yang seharusnya mengadili semua sengketa media, tidak berdaya dalam melindungi praktik pers di Indonesia?

JS:
Tidak, saya tidak berpikir begitu. Saya pikir itu menunjukkan bahwa di banyak provinsi, di banyak yurisdiksi, polisi tidak tahu apa yang harus mereka praktikkan bahwa pers bukanlah kasus kriminal. Itu harus jadi kasus Dewan Pers. Dewan Pers sangat aktif dan baik. Mereka telah mengerti cara kerjanya.

Pencemaran nama baik (yang dibawa dari praktik pers) itu bukanlah kasus pidana, yang sudah berulang terjadi sejak lama. Saya pikir itu masalah pemahaman saja.

Saya tidak berpikir Dewan Pers lemah. Saya kira cukup banyak penyidik polisi yang tidak mengerti ini masalah Dewan Pers, bukan urusan mereka. Jadi isunya sosialisasi. Dewan Pers Indonesia menjadi model yang bagus untuk negara lain di Asia Tenggara. Saya tahu Malaysia tidak memiliki Dewan Pers seperti Indonesia. Timor Leste pun meniru model Dewan Pers Indonesia. Adanya Dewan Pers itu baik. Tapi, saya pikir penyidik kepolisian yang tidak mengerti.

Alinea:
Terima kasih.

***

Dia mau-mau saja diajak membahas soal pekerjaannya di hari libur. Ya, sok serius juga ini ajakan. Jelas bukan akhir pekan yang paling indah buat Janet Steele. Mungkin nanti perlu diketahui apa pendapatnya soal taman bunga, kopi terbaik, biskuit renyah kesukaannya, gaya hidup petualang ala Hemingway. Atau bicara tentang cerita komik jurnalisme reporter Clark Kent dan fotografer Peter Parker, pahlawan idaman anak-anak sedunia.

Berita Lainnya
×
tekid